Kepemimpinan seolah menjadi sebuah topik yang senantiasa menarik untuk dikaji. Ratusan buku yang membahas mengenai kepemimpinan maupun gaya kepemimpinan begitu banyak dijumpai setiap saat. Kegiatan-kegiatan pelatihan kepemimpinan pun begitu populer baik di lingkungan pelajar, mahasiswa hingga lingkungan kerja (kantor).
Terlepas dari begitu banyak metode dan gaya kepemimpinan yang ada pada dasarnya tidak ada yang lebih penting ketimbang efektivitas dalam kepemimpinan itu sendiri. Apapun gaya dan metode yang digunakan tidak akan ada artinya jika tidak menjadi efektif.
Seorang manajer atau pemimpin organisasi tidak dinilai dari penguasaan terhadap pengetahuan yang dimilikinya. Tolok ukur seorang manajer adalah keputusan yang diambil dan bagaimana keputusan tersebut efektif bagi organisasi yang dipimpinnya.
Untuk menjadi seorang pemimpin yang efektif bagi sebuah organisasi perlu mengenali dan memahami visi organisasi yang dipimpin. Visi organisasi selanjutnya diturunkan menjadi visi kepemimpinan, dengan demikian tidak ada pertentangan antar keduanya.
Bila organisasi diibaratkan sebagai sebuah kapal lengkap dengan awaknya yang masing-masing memiliki spesialisasi, tanggung jawab dan tugasnya maka seorang pemimpin adalah kapten kapal tersebut. Seorang kapten kapal tidak sekedar berfungsi mengkoordinir bagaimana setiap bagian bekerja namun lebih dari itu dia bertugas menentukan arah dan tujuan dari kapal dan memastikan bahwa setiap fungsi melaksanakan tugasnya demi tercapainya tujuan yang telah ditetapkan.
Sama halnya dengan sebuah kapal yang ketika berlayar memerlukan tujuan, demikian pula organisasi memerlukan tujuan yang diistilahkan sebagai visi. Tanpa visi maka organisasi akan berjalan tanpa arah dan tujuan. Pada organisasi semacam ini ada dua kemungkinan yang dapat terjadi, kemungkinan pertama organisasi tersebut dalam operasionalisasi kesehariannya asal jalan saja sedangkan kemungkinan yang lain setiap individu dalam organisasi akan fokus mengejar kepentingan masing-masing dan organisasi tidak lebih dari sekedar lembaga atau brand yang menaungi mereka.
Adakah organisasi semacam ini? Tentu saja ada, saya telah melihat sendiri beberapa organisasi yang terjebak pada situasi semacam ini. Beberapa diantaranya tidak mampu bertahan sementara sisanya masih sanggup bertahan karena mereka merupakan bagian dari organisasi yang lebih besar dan untungnya organisasi yang lebih besar ini cukup memiliki visi dan kompetensi. Meski demikian organisasi semacam ini ibarat kanker bagi induknya yang akan membebani. Beban yang dimaksud bukan hanya finansial namun bisa juga berupa brand image.
Sebuah organisasi bisa terjebak pada situasi dimaksud di atas karena beberapa kemungkinan. Bisa jadi situasi ini tecipta karena organisasi didirikan oleh seorang yang visioner dan sangat berpengaruh namun kurang melakukan sosialisasi visinya kepada para kolega atau bawahan, ketika si pendiri ini mundur maka biasanya organisasi akan mengalami penurunan. Kemungkinan lain adalah organisasi terjebak mempertahankan visi yang dibentuk beberapa periode sebelumnya. Visi tidaklah sakral terutama bagi organisasi bisnis. Lingkungan Sekitaran Eksternal (LSE) atau lingkungan di luar organisasi sifatnya dinamis, organisasi harus senantiasa mampu selangkah di depan perubahan yang terjadi.
Organisasi bertahan pada visi yang tercipta pada masa lalu karena pemimpin masa ini tidak peka terhadap tuntutan perubahan yang terjadi saat ini. Bisa juga alasan mempertahankan visi ini karena ingin menghormati the founding father. Apapun alasannya tidaklah penting, yang jelas situasi ini membuat organisasi tidak berdaya menghadapi kompetisi.
Setiap organisasi bediri dengan latar belakang yang berbeda meski demikian kesemuanya memiliki tujuan yang sama yaitu menciptakan output. Output salah satunya berupa kesejahteraan bagi organisasi itu sendiri agar dapat terus bertahan dan membiayai dirinya sendiri. Kesejahteraan hanya dapat tercipta bila organisasi mampu menangkap peluang yang ada pada LSE. Sebab pada dasarnya di dalam organisasi sendiri hanya ada cost, baik biaya untuk inovasi, SDM, pemasaran dan lain sebagainya. Sementara peluang ada pada LSE, dengan demikian penting bagi organisasi untuk menentukan strategi dalam rangka mencapai kesejahteraan. Itulah pentingnya memahami dinamika dan kebutuhan yang ada di LSE. Sayang beberapa organsasi memang terlalu “angkuh” untuk berubah demi memenuhi tuntutan LSE.
Untuk menentukan rumusan strategi yang tepat tentunya organisasi perlu mengumpulkan berbagai informasi internal. Informasi tersebut meliputi informasi dasar mengenai cashflow, likuiditas, piutang dan data penjualan. Informasi mengenai produktivitas berupa benchmarking dan EVA, informasi mengenai kompetensi dari organisasi dan individu serta informasi mengenai
alokasi sumber daya baik dana maupun SDM. Keempat informasi tersebut kemudian digabungkan dengan informasi mengenai LSE dengan demikian terbangunlah link dan match antara organisasi dengan LSE. Kondisi inilah yang memungkinkan organisasi mencapai kesejahteraan.
Faktanya tidak sesederhana itu terutama bagi organisasi yang telah berjalan bertahun-tahun. Resistensi yang ada pada umumnya akan sangat tinggi terutama oleh mereka yang telah bertahun-tahun menikmati status quo. Sebuah organisasi yang saya kenal mengalami kondisi serupa dimana organisasi tersebut berjalan tanpa adanya visi yang jelas selama bertahun-tahun.
Awalnya organisasi ini sangat visioner dan dipersepsi positif oleh stakeholders, namun ketika beberapa senior dalam organisasi terlibat pertengkaran dan masing-masing meninggalkan organisasi para yunior seolah kehilangan arah. Mereka sekedar melakukan rutinitas pekerjaan sehari-hari dalam rangka memenuhi kewajiban sebagai karyawan namun tidak pernah terpikir untuk menentukan arah bagi organisasi tempat mereka bernaung. Setelah belasan tahun para yunior telah berada pada posisi puncak dan selama belasan tahun pula mereka menikmati status quo yang tercipta karena kondisi sebelumnya. Seiring dengan waktu muncul para kompetitor yang tadinya tidak memiliki nama, namun berkat kemampuannya memahami LSE maka para kompetitor secara cepat memperoleh posisi yang lebih baik dibandingkan organisasi ini.
Dalam kondisi semacam ini ternyata tidak membuat organisasi sadar dan memperbaiki diri, sebaliknya mereka yang menikmati status quo sangat resisten terhadap perubahan yang mendesak. Para penikmat status quo telah bertahun-tahun menikmati gaji dan jabatan tanpa peduli akan arah organisasi. Masing-masing mengejar visi pribadinya yang kebanyakan tidak menguntungkan bagi organisasi. Beberapa individu dalam organisasi memperoleh status dan nama namun tidak demikian halnya dengan organisasi yang menaungi dan menggaji mereka setiap bulan.
Juru mudi memiliki tugas, juru mesin memiliki tugas, bahkan juru masakpun demikian. Namun setiap dari mereka hendaknya melaksanakan tugas untuk tujuan yang sama. Apa jadinya jika juru mudi hanya memperdalam kemampuan mengemudinya tanpa tahu arah kapal demikian pula juru mesin dan yang lainnya. Itulah pentingnya visi dan itulah peran seorang pemimpin untuk mengkoordinir setiap fungsi untuk mencapai sebuah tujuan bersama.
Visi dan strategi organisasi berkaitan erat dengan efektivitas kepemimpinan. Itulah sebabnya dipaparkan panjang lebar mengenai visi organisasi. Sebab seorang pemimpin bekerja berdasarkan visi organisasi dan visi pribadi. Tanpa keduanya mustahil kepemimpinannya akan efektif. Bagaimana seorang kapten kapal dapat memimpin anak buah dan kapalnya tanpa dia sendiri tahu kemana kapal ini harus berjalan?
Tanpa adanya efektivitas kepemimpinan maka seorang pemimpin tak lebih dari sekedar simbol yang tiada arti, kepemimpinannya adalah sia-sia. Menentukan gaya kepemimpinan adalah masalah kedua, sebab tanpa adanya visi organisasi dan visi sang pemimpin gaya apapun yang digunakan tidak akan memberi kontribusi yang berarti.
Pemimpin yang efektif juga harus menekankan keputusan pada sesuatu yang benar bukan sesuatu yang dapat diterima. Merasa khawatir akan apa yang dapat diterima atau tidak dapat diterima adalah inefisiensi, sebab dalam proses mencari jawaban “Apa yang dapat diterima?” biasanya beberapa hal penting yang membuat sebuah keputusan menjadi efektif akan disingkirkan.
Terlepas dari begitu banyak metode dan gaya kepemimpinan yang ada pada dasarnya tidak ada yang lebih penting ketimbang efektivitas dalam kepemimpinan itu sendiri. Apapun gaya dan metode yang digunakan tidak akan ada artinya jika tidak menjadi efektif.
Seorang manajer atau pemimpin organisasi tidak dinilai dari penguasaan terhadap pengetahuan yang dimilikinya. Tolok ukur seorang manajer adalah keputusan yang diambil dan bagaimana keputusan tersebut efektif bagi organisasi yang dipimpinnya.
Untuk menjadi seorang pemimpin yang efektif bagi sebuah organisasi perlu mengenali dan memahami visi organisasi yang dipimpin. Visi organisasi selanjutnya diturunkan menjadi visi kepemimpinan, dengan demikian tidak ada pertentangan antar keduanya.
Bila organisasi diibaratkan sebagai sebuah kapal lengkap dengan awaknya yang masing-masing memiliki spesialisasi, tanggung jawab dan tugasnya maka seorang pemimpin adalah kapten kapal tersebut. Seorang kapten kapal tidak sekedar berfungsi mengkoordinir bagaimana setiap bagian bekerja namun lebih dari itu dia bertugas menentukan arah dan tujuan dari kapal dan memastikan bahwa setiap fungsi melaksanakan tugasnya demi tercapainya tujuan yang telah ditetapkan.
Sama halnya dengan sebuah kapal yang ketika berlayar memerlukan tujuan, demikian pula organisasi memerlukan tujuan yang diistilahkan sebagai visi. Tanpa visi maka organisasi akan berjalan tanpa arah dan tujuan. Pada organisasi semacam ini ada dua kemungkinan yang dapat terjadi, kemungkinan pertama organisasi tersebut dalam operasionalisasi kesehariannya asal jalan saja sedangkan kemungkinan yang lain setiap individu dalam organisasi akan fokus mengejar kepentingan masing-masing dan organisasi tidak lebih dari sekedar lembaga atau brand yang menaungi mereka.
Adakah organisasi semacam ini? Tentu saja ada, saya telah melihat sendiri beberapa organisasi yang terjebak pada situasi semacam ini. Beberapa diantaranya tidak mampu bertahan sementara sisanya masih sanggup bertahan karena mereka merupakan bagian dari organisasi yang lebih besar dan untungnya organisasi yang lebih besar ini cukup memiliki visi dan kompetensi. Meski demikian organisasi semacam ini ibarat kanker bagi induknya yang akan membebani. Beban yang dimaksud bukan hanya finansial namun bisa juga berupa brand image.
Sebuah organisasi bisa terjebak pada situasi dimaksud di atas karena beberapa kemungkinan. Bisa jadi situasi ini tecipta karena organisasi didirikan oleh seorang yang visioner dan sangat berpengaruh namun kurang melakukan sosialisasi visinya kepada para kolega atau bawahan, ketika si pendiri ini mundur maka biasanya organisasi akan mengalami penurunan. Kemungkinan lain adalah organisasi terjebak mempertahankan visi yang dibentuk beberapa periode sebelumnya. Visi tidaklah sakral terutama bagi organisasi bisnis. Lingkungan Sekitaran Eksternal (LSE) atau lingkungan di luar organisasi sifatnya dinamis, organisasi harus senantiasa mampu selangkah di depan perubahan yang terjadi.
Organisasi bertahan pada visi yang tercipta pada masa lalu karena pemimpin masa ini tidak peka terhadap tuntutan perubahan yang terjadi saat ini. Bisa juga alasan mempertahankan visi ini karena ingin menghormati the founding father. Apapun alasannya tidaklah penting, yang jelas situasi ini membuat organisasi tidak berdaya menghadapi kompetisi.
Setiap organisasi bediri dengan latar belakang yang berbeda meski demikian kesemuanya memiliki tujuan yang sama yaitu menciptakan output. Output salah satunya berupa kesejahteraan bagi organisasi itu sendiri agar dapat terus bertahan dan membiayai dirinya sendiri. Kesejahteraan hanya dapat tercipta bila organisasi mampu menangkap peluang yang ada pada LSE. Sebab pada dasarnya di dalam organisasi sendiri hanya ada cost, baik biaya untuk inovasi, SDM, pemasaran dan lain sebagainya. Sementara peluang ada pada LSE, dengan demikian penting bagi organisasi untuk menentukan strategi dalam rangka mencapai kesejahteraan. Itulah pentingnya memahami dinamika dan kebutuhan yang ada di LSE. Sayang beberapa organsasi memang terlalu “angkuh” untuk berubah demi memenuhi tuntutan LSE.
Untuk menentukan rumusan strategi yang tepat tentunya organisasi perlu mengumpulkan berbagai informasi internal. Informasi tersebut meliputi informasi dasar mengenai cashflow, likuiditas, piutang dan data penjualan. Informasi mengenai produktivitas berupa benchmarking dan EVA, informasi mengenai kompetensi dari organisasi dan individu serta informasi mengenai
alokasi sumber daya baik dana maupun SDM. Keempat informasi tersebut kemudian digabungkan dengan informasi mengenai LSE dengan demikian terbangunlah link dan match antara organisasi dengan LSE. Kondisi inilah yang memungkinkan organisasi mencapai kesejahteraan.
Faktanya tidak sesederhana itu terutama bagi organisasi yang telah berjalan bertahun-tahun. Resistensi yang ada pada umumnya akan sangat tinggi terutama oleh mereka yang telah bertahun-tahun menikmati status quo. Sebuah organisasi yang saya kenal mengalami kondisi serupa dimana organisasi tersebut berjalan tanpa adanya visi yang jelas selama bertahun-tahun.
Awalnya organisasi ini sangat visioner dan dipersepsi positif oleh stakeholders, namun ketika beberapa senior dalam organisasi terlibat pertengkaran dan masing-masing meninggalkan organisasi para yunior seolah kehilangan arah. Mereka sekedar melakukan rutinitas pekerjaan sehari-hari dalam rangka memenuhi kewajiban sebagai karyawan namun tidak pernah terpikir untuk menentukan arah bagi organisasi tempat mereka bernaung. Setelah belasan tahun para yunior telah berada pada posisi puncak dan selama belasan tahun pula mereka menikmati status quo yang tercipta karena kondisi sebelumnya. Seiring dengan waktu muncul para kompetitor yang tadinya tidak memiliki nama, namun berkat kemampuannya memahami LSE maka para kompetitor secara cepat memperoleh posisi yang lebih baik dibandingkan organisasi ini.
Dalam kondisi semacam ini ternyata tidak membuat organisasi sadar dan memperbaiki diri, sebaliknya mereka yang menikmati status quo sangat resisten terhadap perubahan yang mendesak. Para penikmat status quo telah bertahun-tahun menikmati gaji dan jabatan tanpa peduli akan arah organisasi. Masing-masing mengejar visi pribadinya yang kebanyakan tidak menguntungkan bagi organisasi. Beberapa individu dalam organisasi memperoleh status dan nama namun tidak demikian halnya dengan organisasi yang menaungi dan menggaji mereka setiap bulan.
Juru mudi memiliki tugas, juru mesin memiliki tugas, bahkan juru masakpun demikian. Namun setiap dari mereka hendaknya melaksanakan tugas untuk tujuan yang sama. Apa jadinya jika juru mudi hanya memperdalam kemampuan mengemudinya tanpa tahu arah kapal demikian pula juru mesin dan yang lainnya. Itulah pentingnya visi dan itulah peran seorang pemimpin untuk mengkoordinir setiap fungsi untuk mencapai sebuah tujuan bersama.
Visi dan strategi organisasi berkaitan erat dengan efektivitas kepemimpinan. Itulah sebabnya dipaparkan panjang lebar mengenai visi organisasi. Sebab seorang pemimpin bekerja berdasarkan visi organisasi dan visi pribadi. Tanpa keduanya mustahil kepemimpinannya akan efektif. Bagaimana seorang kapten kapal dapat memimpin anak buah dan kapalnya tanpa dia sendiri tahu kemana kapal ini harus berjalan?
Tanpa adanya efektivitas kepemimpinan maka seorang pemimpin tak lebih dari sekedar simbol yang tiada arti, kepemimpinannya adalah sia-sia. Menentukan gaya kepemimpinan adalah masalah kedua, sebab tanpa adanya visi organisasi dan visi sang pemimpin gaya apapun yang digunakan tidak akan memberi kontribusi yang berarti.
Pemimpin yang efektif juga harus menekankan keputusan pada sesuatu yang benar bukan sesuatu yang dapat diterima. Merasa khawatir akan apa yang dapat diterima atau tidak dapat diterima adalah inefisiensi, sebab dalam proses mencari jawaban “Apa yang dapat diterima?” biasanya beberapa hal penting yang membuat sebuah keputusan menjadi efektif akan disingkirkan.
Faktor penting lainnya yang menentukan efektif tidaknya kepemimpinan adalah peran serta dari anggota organisasi tersebut. Peran serta menjadi faktor akhir yang menentukan kepemimpinan. Organisasi sering mencari sosok super leader yang diharapkan akan membawa organisasi tersebut ke arah yang lebih baik, namun tidak jarang terjadi meski telah memperoleh seorang pemimpin yang super tetap saja organisasi tidak bergerak ke arah yang diharapkan. Hal ini disebabkan ketiadaan atau rendahnya partisipasi dari anggota. Sehebat apapun seorang pemimpin tanpa peran serta anggotanya tak akan ada artinya. Situasi riil yang terjadi adalah di Indonesia, masalah terbesar bagi bangsa ini bukanlah mencari sosok pemimpin yang ideal namun sebaliknya mencari warga negara yang ideal yaitu warga negara yang mau berperan serta dan peduli untuk membangun bangsa. Sayang selama ini justru sosok kepemimpinan ideal yang selalu sibuk diperdebatkan.
Menjadi pemimpin yang efektif sangatlah penting utamanya pada organisasi modern dimana sistem kendali-perintah telah digantikan dengan sistem koordinasi dan kekuasaan tergantikan dengan tanggung jawab individu. Pada situasi ini visi organisasi dan efektivitas kepemimpinan menjadi semakin penting dibanding era-era sebelumnya. (Satrio A. Wicaksono)
copyright © 2008 SINERGI CONSULTING
Diperkenankan mengutip untuk kepentingan non komersial dan wajib
menyertakan sumbernya
Diperkenankan mengutip untuk kepentingan non komersial dan wajib
menyertakan sumbernya