Selasa, 24 Agustus 2010

Widgets

on

Bukan Selamanya...

Pernahkah Anda teringat akan peristiwa atau kenangan masa lalu entah baik maupun buruk? Apa yang terjadi ketika mengingatnya? Mungkin sebagian orang akan tertawa akan apa yang terjadi di masa lalu, sebagian yang lain mungkin akan menyesal dan sebagian lagi mungkin bahkan sudah tak lagi ingat akan apa yang terjadi. Memang reaksi dan persepsi tentang kejadian dimasa lampau tidak sama pada setiap orang.

Awal bulan Agustus hingga dua hari yang lalu saya mengalami sebuah kondisi yang tak terduga dan terus terang selama itu membuat saya cukup tertekan terlebih ketika setiap upaya yang dilakukan untuk mengatasinya tidak membawa hasil. Hari-hari saya dipenuhi pikiran dan perasaan yang tidak menentu. Seolah hanya persoalan itulah yang mengisi setiap waktu dalam hidup saya pada hari-hari tersebut.

Puji Tuhan bahwa kemarin mulai terlihat titik terang meski belum sepenuhnya terselesaikan namun setidaknya muncul secercah harapan yang membawa kelegaan. Dan itu sudah lebih dari cukup untuk menjadikan saya bersyukur dan tidur nyenyak.

Pengalaman itu justru memberikan pelajaran yang berharga, sedikit kelegaan telah membawa saya pada kesadaran betapa sering saya melewatkan banyak hal yang semestinya dapat disyukuri setiap hari karena menganggap bahwa hal-hal tersebut adalah biasa. Tidur yang nyenyak, bangun pagi dengan semangat dan harapan atau hal-hal kecil lainnya dalam kondisi sehari-hari terasa wajar dan kurang disyukuri. Namun bagi yang telah merasakan betapa hal-hal itu tak begitu saja datang tanpa arti maka akan timbul penghargaan dan rasa syukur akan hal-hal yang sebelumnya terasa biasa.

Teringat pada beberapa kejadian di masa lalu yang kala itu terasa berat atau tak menyenangkan namun setelah berlalu menjadi sebuah cerita yang berakhir baik. Seperti ketika SMA gagal saat pertama kali mengikuti seleksi program pertukaran pelajar, ketika mencoba untuk kedua kali dan berhasil serta mengalami banyak pengalaman menyenangkan baik ketika persiapan maupun selama satu bulan di Australia seolah kegagalan yang terjadi sebelumnya tak lagi berarti. Bahkan justru bersyukur bahwa bisa jadi pengalaman yang diperoleh selama di Australia akan berbeda tak sebaik saat itu.

Demikian pula ketika menyusun thesis dimana salah satu kelompok narasumber-nya adalah pengacara di kota Salatiga. Ternyata sekelompok pengacara tertentu menolak dengan alasan kerahasiaan antara klien dan pengacara. Bagi saya yang sarjana hukum dan waktu itu adalah calon master di bidang manajemen pemasaran tentu adalah alasan yang sangat lucu mengingat saya sangat memahami batasan-batasan baik etika kerahasiaan klien-pengacara, etika penelitian maupun etika pemasaran dimana kedua hal terakhir tadi jelas tak dikuasai oleh kelompok orang tersebut.

Justru di saat bersamaan ketika bicara etika mereka menyarankan agar saya memanipulasi data ketimbang melakukan penelitian riil. “Yang penting segera lulus, dapat gaji besar dan menikah”. Begitu kata salah satu dari mereka.

Mungkin tak pernah terpikir oleh mereka bahwa dibalik ijazah dan gelar akademik yang nantinya saya peroleh ada tanggung jawab yang menyertai. Pertama bisa jadi dengan ijazah dan gelar itulah saya akan mencari nafkah yang menghidupi keluarga. Akankah saya memberi nafkah dengan gelar yang penelitiannya dimanipulasi? Kedua ada tanggung jawab moral dalam memberikan kontribusi bagi pengetahuan. Tak usahlah muluk-muluk namun katakan saja thesis saya dipelajari dan diteliti lebih lanjut oleh orang lain, bukankah manipulasi itu akan berdampak pada penelitiannya?

Di luar sisi moral adalah bahwa tempat di mana saya studi adalah salah satu yang termasuk dalam 10 sekolah bisnis terbaik di Indonesia versi majalah SWA. Para pengajarnya pun tak hanya kompeten dan berkualitas namun juga bermoral dalam keilmuan. Tentu tak begitu saja bisa dibodohi dengan manipulasi.

Lagi pula thesis saya hendak mengkaji bagaimana persepsi layanan yang diterima oleh seorang pembeli industri jasa berpengaruh terhadap preferensi rekomendasinya. Kebetulan objek penelitiannya adalah pengacara. Saya bahkan tak mengangkat isu etika dan tanggung jawab moral pengacara namun mereka sudah sedemikian resisten dan ketakutan.

Sementara di satu sisi ada sekelompok pengacara yang menolak mati-matian seolah ketakutan ada banyak hal terbongkar di lain tempat pengacara-pengacara lainnya dengan senang hati menerima bahkan berharap menerima hasil penelitian nantinya sebagai bahan evaluasi sendiri. Dalam hal penelitian ini pengacara tak ubahnya adalah perusahaan yang tentu saja diuntungkan dengan adanya penelitian semacam ini apalagi gratis.

Anyway, kondisi itu sempat membuat saya dalam posisi sulit karena proses penelitian terhambat. Kala itu banyak tekanan dalam diri saya baik untuk segera menyelesaikan studi dengan pertimbangan biaya, idealisme untuk menghasilkan penelitian yang berkualitas belum lagi profesor pembimbing saya adalah seorang yang luar biasa penuntut sekaligus saya segani dalam penguasaan ilmu di bidangnya. Namun akhirnya semua berakhir baik, tak butuh lama bagi saya untuk akhirnya menyelesaikan penelitian dan bahkan mendapat nilai A. Kini ketika kembali mengenang saat itu maka kesulitan yang pernah dialami tidaklah penting karena semua telah berlalu dan berlalu dengan sangat baik.

Namun adakah penyesalan? Ya terkadang ada, bukan penyesalan atas hasil namun penyesalan karena telah melewatkan hari-hari itu dengan rasa tertekan, jengkel, ingin segera berlalu seolah hari-hari itu tiada berarti dan tiada yang dapat disyukuri.

Jika mengingat kondisi yang terjadi beberapa hari yang lalu sebagaimana saya sebutkan pada awal tulisan ini. Tentu saat itu tak terpikir dan tak terbayang bahwa hari ini saya akan bersyukur atas kelegaan yang luar biasa, bahwa hari ini saya akan membuat tulisan ini di tengah perjalanan bertemu customer, bahwa di tengah perjalanan saya merasa senang hanya karena melihat sebuah Toyota Alphard 3.5 G sambil membayangkan suatu saat akan dipercaya untuk memilikinya, bahwa hari ini akan punya sebuah topik untuk ditulis ke blog. Tak terpikir bahwa penting untuk bersyukur serta menikmati moment “saat ini” dan menertawakan diri sendiri yang berminggu-minggu dipenuhi kehawatiran padahal toh akhirnya semua baik-baik saja.

Hari demi hari sering terlewatkan begitu saja seolah rutinitas dan tanpa makna, tuntutan pekerjaan dan kebutuhan hidup sering membawa kita pada kondisi lupa dan tak menyadari sungguh-sungguh “waktu ini”. Entah baik maupun buruk yang terjadi saat ini bukanlah selamanya, pada waktunya akan berlalu juga dan bahkan sedemikian cepat semuanya itu hanya menjadi masa lalu. “Saat ini” bukanlah selamanya, betapa kita bisa lebih menghargai dan mensyukuri “saat ini” ketika kita sadar bahwa secepat itu semua ini berlalu terlebih ketika kita sadari bahwa kekhawatiran akan “nanti” telah melawatkan “saat ini”. Dan yang lebih buruk adalah dengan melewatkan “saat ini” tak ubahnya telah mengacuhkan juga “pemeliharaan dan kehadiran Tuhan bersama kita saat ini”.


Tulisan berikut mungkin bermanfaat bagi Anda yang sedang menghadapi sebuah keadaan yang tak diinginkan.