Selasa, 13 Mei 2014

Widgets

on

Membesarkan Anak dengan Filosofi Membesarkan Koi…

Mendapat pengalaman berharga ketika anak kami lahir di Melbourne pada satu sisi membuka mata mengenai cara-cara mendidik dan membesarkan anak, namun pada saat yang sama sering juga menimbulkan rasa prihatin ketika melihat pola orang tua di Indonesia dalam mendidik serta membesarkan anak-anaknya.

Sejak masa kehamilan hingga pasca melahirkan perhatian yang diberikan pemerintah serta berbagai organisasi baik untuk ibu maupun anak sangatlah luar biasa di Melbourne. Mulai dari selebaran, support group, informasi daring (online), hingga layanan konsultasi gratis lewat telepon selama 24/7 dirancang sedemikian rupa sehingga orang tua yang baru memiliki anak pertama dan tidak berpengalaman pun bisa belajar bagaimana merawat, membesarkan serta mendidik anak.

Bukan hanya ibu dan anak yang mendapat perhatian, bahkan ayah pun demikian. Peran ayah di Indonesia masih sering dianaktirikan dalam masa kehamilan ibu maupun pasca kelahiran. Padahal ayah atau suami tak jarang mengalami tekanan emosi terutama yang berhubungan dengan tanggung jawab finansial setelah anak tersebut lahir hingga selesai studi nantinya.

Mendidik dan membesarkan anak
The Women's, Tempat Anak Kami Dilahirkan


Saat masih di RS setelah melahirkan pun orang tua sudah mulai dibimbing, bukan hanya bagaimana merawat si bayi namun ibu pun diberi pelajaran mengenai pemulihan pasca kelahiran baik psikis maupun fisik. Kemudian setelah kembali ke rumah pihak rumah sakit pun mengirimkan midwife atau bidan selama tiga kali dalam satu minggu untuk memantau kondisi ibu dan bayi.

Setelah tiga kali kunjungan maka tanggung jawab RS bersalin pun berakhir dan diambil alih oleh petugas dari pemerintah daerah yang juga melakukan kunjungan sebanyak tiga kali. Petugas tersebut bukan hanya memantau kondisi ibu dan bayi namun juga memberikan saran-saran terhadap kondisi rumah dalam rangka memastikan kondisi rumah serta lingkungan aman bagi pertumbuhan si anak.

Selanjutnya ketika tiga kali kunjungan sudah dilakukan berikutnya orang tua yang wajib mendatangi Maternal and child health centre untuk mengecek kondisi anak, berkonsultasi serta mendapatkan updateinformasi lainnya mengenai perkembangan anak serta kesehatan ibu. Pihak pemerintah juga memfasilitasi pembentukan support group yang terdiri atas para orang tua dan anak yang lahir dalam waktu hampir bersamaan dalam suatu lingkungan tertentu. Banyak manfaat yang diperoleh dari group ini, selain berbagi informasi, sosialisasi serta sharing pengalaman bagi ibu yang hendak kembali bekerja juga merupakan topik yang banyak dibicarakan.

Berbeda dengan orang tua di Indonesia yang mengandalkan baby sitter atau kakek-nenek ketika baru memiliki anak, orang tua di Melbourne jauh lebih mandiri. Mengurus anak sendiri (ayah dan ibu saja) adalah hal yang lumrah, sebaliknya mendatangkan orang tua atau mempekerjakan baby sitter sama sekali praktik yang tidak umum di sini.

Ketika kedua orang tua (ayah dan ibu) bekerja bersamaan maka anak umumnya dititipkan di daycare, dan mereka yang mengelola daycare bukan hanya berpengalaman namun terdidik untuk memahami kebutuhan anak sesuai usianya. Sehingga anak tidak sekedar dititipkan dan diberi makan saja.

Bagi mereka yang merupakan warga negara bahkan pemerintah memberikan insentif untuk anak yang lahir. Bahkan bagi ayah yang cuti menjelang istri melahirkan hingga beberapa minggu setelahnya pemerintah juga memberikan insentif sebagai penghargaan karena mengedepankan keluarga ketimbang pekerjaan/karirnya.
Bukan hanya pemerintah, kantor-kantor pun diwajibkan memberi waktu pada ibu jika harus pulang atau meninggalkan kantor sebelum waktunya karena mengurus kepentingan anak tanpa memotong hak-hak karyawan yang adalah ibu tersebut.

Dari situ saja sudah bisa dilihat betapa berbedanya perhatian pemerintah terhadap kesejahteraan orang tua dan anak antara Indonesia dan Australia, atau setidaknya Victoria.

Namun kalau urusan pemerintah kita tentu tak bisa berbuat banyak, hal produktif dan masuk akal yang bisa dilakukan adalah pada sisi kita sebagai orang tua.

Di Melbourne rata-rata orang memiliki anak pertama pada usia 30 tahun ke atas, kenapa? Karena mereke merasa perlu benar-benar siap sebelum membuat keputusan besar. Mereka tidak mau kalau sampai nantinya anak dikorbankan karena karir. Para ibu utamanya, mereka giat mengejar karir sebelum memiliki anak, sehingga nantinya bisa berfokus pada anak setelah melahirkan dan tidak lagi mengedepankan karir.
Mereka yang memiliki anak sebelum usia 30 tahun diwajibkan mengikuti persiapan khusus yang disebut Young Parents Group untuk memastikan mereka sudah benar-benar siap menjadi orang tua secara mental utamanya.

Sebaliknya di Indonesia biasanya orang lulus kuliah, kerja 1 atau 2 tahun lantas menikah dan punya anak. Setelah punya anak kemudian dititipkan ke orang tua atau diserahkan ke baby sitter karena orang tuanya sibuk bekerja.

Ibu yang bekerja pun tak jarang mengalami konflik dengan rekan kerja serta atasan ketika harus ijin atau pulang karena mengurus anak.

Akibatnya dalam banyak hal anak seolah dinomor duakan, saking sibuknya orang tua lebih mengedepankan kesejahteraan fisik si anak ketimbang perkembangan emosionalnya. Orang tua menghabiskan waktu untuk meng update skill dan ilmu terkait karir serta pekerjaannya namun tak pernah meluangkan waktu update ilmu mengenai parenting sehingga hanya mengandalkan saran serta pendapat orang tuanya yang diwariskan turun temurun dari generasi ke generasi dan kadang juga tanpa didasarkan hasil penelitian yang memadai.

Setelah anak semakin dewasa orang tua mengkompensasi dengan menyertakan anak dalam berbagai kursus, bimbel, dimasukkan ke sekolah elite dan sebagainya seolah itu semua merupakan hal ideal yang harus dilakukan oleh orang tua yang baik.

Orang Asia pada umumnya, termasuk Indonesia tentu saja seringkali memberikan apresiasi terhadap hasil ketimbang proses. Kondisi ini sudah jelas tidak mendidik, makin parahnya sikap yang sama juga diterapkan oleh orang tua terhadap anak. Orang tua hanya peduli ketika anak mencatat prestasi, memperoleh ranking dan sebagainya. Namun proses yang dialami, pelajaran serta pengalaman hidup yang didapat dalam mencapai keberhasilan atau pun kegagalan sering tidak mendapat perhatian. Lantas apa berarti anak yang tidak mencatat prestasi atau tidak mendapat ranking tidak mendapat pelajaran serta pengalaman penting?

Kalau proses serta pelajaran dan pengalaman yang diperoleh dalam mengerjakan sesuatu tidak dianggap penting maka sulit rasanya membentuk atau mengajarkan karakter kepada seorang anak. Cepat atau lambat anak akan belajar bahwa orang tuanya hanya akan memberi pujian atau hukuman berdasarkan hasil yang diperoleh anak. Anak sangat mungkin salah paham bahwa apapun caranya asal hasilnya “disetujui” atau diterima oleh orang tua maka layak dicoba.

Pada satu kesempatan pernah seorang teman di Australia yang anaknya sudah bersekolah bercerita bagaimana guru-guru lebih peduli terhadap perkembangan psikologis dan karakter anak ketimbang sekedar nilai akademisnya. Pada sekolah setara SD, guru di Australia akan lebih prihatin ketika anak belum bisa tertib mengantri atau membuang sampah pada tempatnya ketimbang kemampuannya menyerap pelajaran matematika misalnya.

Bagaimana di Indonesia? Tak perlu disebut, rasanya kita semua juga sudah tahu…

Hal lain yang membangkitkan rasa prihatin sekaligus geli adalah bagaimana orang tua di Indonesia begitu tergila-gila dalam menggemukkan anak agar terlihat lucu dan orang tuanya dianggap makmur.

Berapa kali kami mendengar orang tua atau kakek nenek di Indonesia dengan bangga menceritakan berat cucunya atau anaknya sudah sekian kilo, padahal umurnya baru sekian bulan atau tahun. Tak jarang pula petugas Posyandu, bidan atau bahkan dokter anak pun yang salah mengartikan Growth Percentiles. Dipikirnya garis terbawah menunjukkan perkembangan yang kurang baik, padahal baik atas, tengah, maupun bawah semua sama baiknya selama si anak menunjukkan perkembangan yang stabil dalam arti tidak naik turun secara drastis. Justru naik tiba-tiba, atau turun tiba-tiba secara drastis tanpa mengikuti garis adalah kondisi yang patut diwaspadai.

Di Indonesia beberapa kali ada yang menanyakan apa anak kami susah makan? Menurut kacamata orang Indonesia anak kami mungkin dianggap kurus, padahal ketika bobot dan pertumbuhan anak kami ditanyakan ke GP, Pediatrician ataupun midwife di Melbourne justru kami ditertawakan karena dianggap mengkhawatirkan hal-hal yang tidak perlu. Dan memang anak kami tumbuh sesuai garis growth percentiles bawah.

Sebagai hobbyist koi dan koki jujur saja sering saya merasa geli dengan orang tua yang terobsesi pada berat badan anak. Di kalangan hobbyist memang biasa kami saling memamerkan pertumbuhan ikan koi atau koki sekian cm dalam satu bulan, tapi wajar toh itu ikan alias peliharaan. Kalau orang tua masih terobsesi dengan berat badan anak mungkin baiknya menyalurkan hobi memelihara koki ataupun koi sebagai penyaluran ketimbang menjadikan anaknya sebagai obyek percobaan. Di kalangan pecinta koki dan koi ini juga umum menggunakan auto feeder atau mempercayakan kepada asisten rumah tangga dalam memberi makan peliharaan kesayangan mereka saat pemiliknya sibuk bekerja atau ada urusan lain, sedikit mirip dengan mempercayakan anak kepada asisten rumah tangga atau baby sitter sementara orang tua sibuk dengan urusan lain bukan? Tapi... bahkan hobbyist koi dan koki pun cukup rajin meng-update dan meng-upgrade pengetahuan serta skill keeping-nya

Keeping Koi layak dicoba bagi mereka yang terobsesi pertumbuhan berat badan

Perkembangan psikologis, sebagaimana sudah disebut menjadi perhatian yang sama pentingnya dengan perkembangan fisik sejak anak masih bayi hingga pada usia yang lebih dewasa. Perkembangan psikologis ini turut dipantau setiap orang tua dan anak berkunjung secara rutin ke Maternal and child health centre. Jika ada hal-hal yang patut diberi perhatian baik menyangkut fisik maupun psikologis maka petugas akan memberi rujukan pada ahli di bidang terkait. Sementara di Indonesia perkembangan emosional dan psikologis sering terabaikan. padahal banyak bukti menunjukkan bahwa perkembangan psikologis ini berpengaruh hingga seseorang menjadi dewasa, kadang tidak terlihat pada awalnya namun di kemudian hari baru muncul dan sudah terlambat untuk diatasi. Para profiler bahkan sering menemukan bahwa penyimpangan serta kekerasan yang dilakukan orang dewasa acapkali berasal dari kondisi psikologis di masa kecil, sayang bukan jika sesuatu yang sebenarnya bisa dihindarkan dan diatasi harus terabaikan dan berdampak besar pada kehidupan anak ketika dewasa? Anyway, bagi orang tua yang ingin update ilmu parenting bisa berkunjung ke http://raisingchildren.net.au/ di situlah kami belajar sejak meninggalkan Melbourne sebab informasi di Indonesia sangat minim. Ada baiknya Anda para orang tua meluangkan waktu untuk melakukan upgrade dan update ilmu parenting. Kalau untuk upgrade & update ilmu serta skill pendukung karir Anda selalu ada waktu, masa' sih untuk anak tidak ada waktu?