Kebanyakan dari kita merasa khawatir tentang apa yang orang pikirkan tentang diri kita. Lebih buruk lagi sebagian besar dari kita melakukan atau mengatakan sesuatu hanya demi mendapatkan persetujuan dari orang lain. Perilaku demikian seolah terjadi secara alamiah sebagai sebuah penerimaan bahwa diri kita adalah bagian dari komunitas yang lebih besar dan acapkali menyebabkan kita kehilangan identitas diri.
Ada sebagian dari kita yang merasa aman menjadi “trend follower” ketimbang “trend setter” entah untuk hal-hal kecil seperti model rambut, gaya berpakaian dan sebagainya hingga pada tahapan yang lebih substansial antara lain pilihan tentang bidang pendidikan dan profesi.
Pada tingkatan tertentu ada sesuatu dalam diri kita yang merasa lelah karena kebiasaan-kebiasaan ini. Kelelahan yang muncul karena ketidakmampuan untuk menjadi diri sendiri.
Kita berpikir bahwa tindakan-tindakan tersebut disebabkan oleh sebuah keharusan dari luar diri yang menjadikan kita harus berperilaku demikian. Namun tahukah Anda bahwa sebenarnya semua itu datang dari dalam diri Anda sendiri?
Perilaku tersebut muncul karena adanya keyakinan diri bahwa Anda harus bersikap atau berperilaku tertentu agar orang lain menerima Anda. Anda disibukkan dengan berbagai pikiran mengenai apa yang harus dilakukan atau dikatakan agar orang lain memberikan penilain yang baik tentang diri Anda.
Pikiran yang terus menerus diulang menjadi semacam sugesti yang pada akhirnya membentuk sebuah “believe system” dalam diri Anda. Dan tanpa sadar Anda telah terjebak di dalamnya. Padahal karena “believe system” itu dibentuk oleh Anda sendiri maka sebenarnya Anda sendiri pulalah yang memiliki kendali untuk menyingkirkan atau menggantinya dengan hal lain yang lebih produktif.
Memang sejak awal banyak “believe system” negatif yang diajarkan pada diri kita. Banyak orang tua menuntut anak-anaknya memiliki perilaku tertentu sesuai standar mereka. Mereka lupa bahwa anak sesungguhnya adalah subjek bukan objek yang bisa mereka bentuk sesuai keinginannya.
Tak jarang orangtua merasa kesal dan marah jika anak tidak berperilaku sesuai standar mereka. Dan buruknya tak jarang kemarahan dan kekesalan itu lebih dikarenakan rasa malu orang tua atas perilaku anaknya.
Kekesalan dan kemarahan itu ditanggapi oleh anak dalam hatinya bahwa ada sesuatu yang tidak benar dalam dirinya. Pada tahap inilah “believe system” mulai terbentuk dan dibawa ketika anak berada dalam lingkungan lain sekalipun. Pada gilirannya muncul perasaan bahwa dirinya “tidak baik”
Sebagai reaksi dan solusi atas keyakinan ini maka muncul sebuah solusi bahwa untuk menjadi baik adalah melakukan apa yang dituntut oleh orang tua ataupun lingkungannya.
Pada awalnya mungkin memang terasa sebagai sebuah solusi, namun solusi ini terus menjadi semacam cetak biru dalam dirinya bahwa untuk menjadi baik adalah melakukan apa yang dituntut oleh lingkungan dimana dia berada
Tahukah Anda apa yang buruk mengenai hal ini? Sikap ini telah menempatkan seseorang melakukan sesuatu hanya demi persetujuan orang lain. Dan boleh dikatakan bahwa nilai kebaikan adalah bukan dari dirinya sendiri melainkan ditentukan oleh lingkungan Ya!! Masalah yang kita bicarakan di awal tadi.
Benar bahwa lingkungan mungkin berperan memengaruhi terbentuknya “believe system” dalam diri Anda, namun Anda sendirilah yang menanamkannya.
Rasanya sekarang sudah cukup jelas mengapa banyak orang terobsesi mendapatkan penerimaan, persetujuan ataupun pujian dari orang lain. Kesemuanya itu dibutuhkan untuk meyakini bahwa dirinya sendiri baik. Bahkan sekalipun tindakan dan kata-katanya tidak dilakukan dengan tulus sepenuh hati tetap akan dilakukan demi mendapatkan reputasi baik dimata orang.
Jadi ketika seseorang terobsesi bahkan diperbudak oleh persetujuan dari orang lain dan rela melakukan apapun termasuk misalnya dengan victim branding sebenarnya merupakan pengakuan diri bahwa “aku tidak cukup baik”.
Related Articles:
Rabu, 29 September 2010
on
19.38