Jumat, 19 Februari 2010

Widgets

on

“VICTIM BRANDING”

Bukan!! Saya tidak salah tulis, memang yang saya maksudkan bukan victim of branding (korban merek) tapi “Victim branding”. Entah sudah ada atau belum istilah itu tidaklah penting, yang saya maksudkan adalah mem-branding diri dengan memosisikan sebagai korban.

Kalau Anda amati peristiwa-peristiwa nasional yang mencuat di media belakangan ini maka Anda akan mengerti maksud saya. Belakangan ini seolah menjadi semacam trend dimana ketika muncul kasus tertentu maka salah satu atau malah kedua belah pihak yang terlibat berlomba untuk menjadi “korban”.

Tidak mengherankan karena memang tampaknya memosisikan diri sebagai “korban” sangat menguntungkan untuk memenangkan persepsi publik. Tentu bukan rahasia lagi bahwa memenangkan persepsi menjadi hal yang sangat penting dalam pemasaran. Setiap membicarakan persepsi saya selalu ingat materi “Mendaki Bukit Persepsi” yang dibawakan oleh dosen saya Prof. Ihalauw ketika kuliah. Beliau menunjukkan betapa penting dan vitalnya bagi seorang pemasar untuk memenangkan persepsi pelanggan.

Rupanya mereka-mereka yang terlibat pada kasus-kasus yang diliput secara intens oleh media dan mendapat perhatian publik cukup memahami pentingnya memenangi persepsi. Lebih hebat lagi bahkan mereka sungguh memahami bahwa jurus yang paling tangguh (setidaknya hingga saat ini) untuk memenangi persepsi adalah dengan memosisikan diri sebagai “korban”. Tentu terlepas dari kenyataan apakah mereka benar-benar korban atau sekedar “korban”. Publik yang tentu tidak sepenuhnya tahu fakta-fakta sebenarnya cenderung jatuh simpati kepada pihak yang menjadi “korban”. Maka tak heran ketika pada akhirnya kedua belah pihak sama-sama menggunakan jurus “Victim branding” publik pun dibuat bingung mengenai kebenarannya.

Sebenarnya “Victim branding” bukanlah hal baru, kecenderungan membela “korban” pun bukan kecenderungan baru dalam masyarakat. Hanya saja baru belakangan ini semakin dimanfaatkan dan didandani sedemikian rupa sehingga menjadi “fakta” yang seringkali lebih dipercaya ketimbang fakta yang sesungguhnya, sekaligus menjadi jurus ampuh untuk memperoleh pendukung. Ketika ada kecelakaan yang melibatkan kendaraan roda dua dengan roda empat, bukankah masyarakat cenderung menyalahkan kendaraan roda empat meski belum tahu faktanya? Ketika seorang yang secara ekonomi cukup mapan berperkara dengan seorang yang tidak mampu secara ekonomi, siapa yang lebih banyak mendapatkan simpati? Ketika seseorang “menjual” tangisan sementara yang lain memilih berdiam, siapakah yang “tampak benar”? Tak heran jika di negeri ini banyak penjual yang menjajakan barang sekaligus “menjajakan” cerita kehidupan yang penuh derita agar dagangannya laku. Namun sejauh ini tampaknya “Victim branding” hanya efektif dilakukan untuk mem-branding seseorang bukan untuk produk.

Fenomena “Victim branding” ini hendaknya disikapi secara hati-hati. Bagi publik setidaknya harus lebih mampu mencermati agar persepsi dan opininya tidak terbawa oleh rasa simpati terhadap “korban”. Sedangkan bagi pihak yang memanfaatkan “Victim branding” jangan sampai berlebihan karena publik pun juga tidak bodoh, dalam kadar dan kapasitas tertentu publik akan tetap mampu menilai. Seperti iklan salah satu produsen rokok: “Mau eksis? Jangan lebay pliss….”


"Berbohong memerlukan strategi dan sekaligus ‘exit strategy yang elegan’. Orang seringkali menganggap remeh, berpikir bahwa dia tidak akan ketahuan berbohong. Kalau ketahuan, mudah solusinya, berbohong yang lebih besar lagi saja. Secara teori memang benar, bahwa sebuah kebohongan kalau terbongkar, maka kita memerlukan kebohongan yang lebih besar untuk menutupinya. Celakanya kalau sudah terlampau besar, maka semua orang harus diajak berbohong. Hal, ini kemungkinan akan sangat tidak mungkin dan ongkosnya akan menjadi mahal sekali" -Kafi-

NB: Sebagai catatan saya secara pribadi tidak mendukung “Victim branding” karena dalam pandangan saya sangat tidak etis dan tidak elegan.
(Satrio)