Kamis, 11 Februari 2010

Widgets

on

"Lebaypreneur??"

Istilah di atas bukan saya yang menemukannya. Berawal dari status FB Pak Wuryanano: “Ada kecenderungan saat ini, sebagian entrepreneur bersikap lebay... Hehehe... Entrepreneur Lebay... Mau eksis? Jangan lebay, pliis... “

Kemudian seseorang merespon demikian: “ealaah...lha kalo begitu, utk beliau2 yg spt itu saya usulkan ada kategori baru, yaitu 'lebaypreneur'. hehehe..”

Dari situlah saya menemukan istilah “lebaypreneur”, untuk Pak Ahmad saya ijin menggunakan istilah ini.

Memang kalau diamati beberapa waktu terakhir ini semakin tinggi minat masyarakat untuk memulai usaha sendiri sebagai entrepreneur. Banyak para entrepreneur senior yang sudah sukses dan mapan mencoba membangkitkan semangat melalui buku, diskusi atau seminar-seminar dengan menceritakan kisah perjalanannya hingga kesuksesan yang diraih saat ini.

Tujuan dari para entrepreneur ini tidak lain adalah untuk membangkitkan motivasi dan keberanian bagi yang belum berani terjun ke dunia ini. Namun celakanya cara-cara ini kemudian dijiplak begitu saja untuk kepentingan pribadi yang tujuannya seringkali untuk menciptakan kesan bagi orang lain. Padahal beda dengan para entrepreneur sukses yang meski menceritakan pencapaiannya namun tidak melebih-lebihkan. Sebaliknya mereka yang sekedar ingin menciptakan kesan ini cenderung "mengada-adakan yang tidak ada".


Masih di statusnya, Pak Nano (Wuryanano) lebih lanjut menjelaskan: “Sikap lebay ya kurang lebih spt di iklan teve itu... Lebay ini beda dg motto Fake It Until You Make It lho ya. Kalo entrepreneur pegang motto ini, dia ada upaya keras menuju impiannya dg bersikap spt sdh mencapai impiannya. Namun kalo Lebay, dia hanya ingin bikin kesan jika dia sdh sukses pdhl gak ada upaya mewujudkannya, shg kondisi riilnya gak ada peningkatan. Begitu..”
Apa yang dikatakan oleh beliau ini saya setuju. Kalau istilah Pak Nano “Fake it Until You Make it” kalau saya lebih terbiasa menggunakan istilah “Tell a different story”.

Entah sama atau tidak intinya dengan yang dimaksud oleh beliau silakan di-cross check sendiri namun pemahaman saya mengenai “Tell a different story” kurang lebih demikian; ketika saya ingin mencapai sesuatu (target) maka biasanya saya membayangkan, memimpikan dan terus berkata pada diri sendiri mengenai target yang hendak saya capai. Sebagai contoh omzet dari usaha saya saat ini adalah 50 juta per bulan sementara saya ingin mencapai target 1 M per bulan biasanya dalam hati saya terus berusaha meyakini bahwa saya memiliki omzet 1 M per bulan. Ketika saya membaca laporan bulanan dalam hati saya berkata “wah… omzet bulan ini 1 M!!” atau dalam angan-angan saya sendiri saya “merubah” angka-angka itu sesuai target yang hendak saya capai sambil mengucap syukur. Atau ketika saya mendapat order dari klien seringkali dalam angan-angan saya tambahkan angka nol-nya.

Dalam banyak hal biasanya target tersebut berhasil saya capai, tergantung seberapa besar keyakinan saya. Jadi saya “keep telling a different story” hingga saya benar-benar merasa seolah hal itu sudah “terjadi” atau hingga saya benar-benar meyakininya. (Sayang untuk target omzet 1 M per bulan hingga saat ini belum tercapai :)). Jadi kuncinya adalah keyakinan diri sendiri.

Lalu apa bedanya “Fake it Until You Make it”, “tell a different story” dengan “lebaypreneur”?

Dalam “tell a different story” kita tidak menceritakan kepada orang lain. Sebab prinsipnya bukan seberapa banyak kita bercerita kepada orang lain namun seberapa yakin kita dengan hal itu. Kita tidak perlu meyakinkan ribuan atau bahkan jutaan orang namun cukup diri kita sendiri sungguh-sungguh meyakininya. Tak ada gunanya berhasil meyakinkan banyak orang mengenai “pencapaian” kita sementara diri kita sendiri penuh keraguan.
Saya tidak pernah bercerita kepada siapapun ketika sedang melakukan “tell a different story”, paling banter saya cerita ke istri yang dia sendiri sudah tahu maksud saya. Karena ya itu tadi bahwa yang lebih penting adalah seberapa besar keyakinan kita akan “kebenarannya”?

Sebaliknya “lebaypreneur” karena tujuannya memang menciptakan kesan maka yang penting adalah menciptakan kesan mengenai kesuksesannya. Semakin banyak orang yang terkesan maka tentunya makin baik sekalipun di dalam dirinya sendiri penuh keraguan, ketidakpuasan, kemarahan dan emosi negatif lainnya.
Alkisah seorang yang memutuskan keluar dari pekerjaannya dengan alasan gajinya mentok belum lagi lokasi kerja yang jauh dari keluarganya. Dia mencoba memulai usaha sendiri di kota yang lebih dekat dengan keluarganya, tidak berapa lama sudah menyerah karena merugi. Akhirnya dia merantau ke kota besar karena beralasan bahwa di kota besar usahanya akan lebih sukses sementara anak dan istrinya ditinggalkan di kota asalnya. “Sang entrepreneur” setiap kali pulang kampung selalu menceritakan betapa sukses usahanya di kota besar demikian pula setiap bertemu dengan teman-teman lamanya diceritakannya segala kesuksesannya dan outletnya yang sudah dimana-mana. Gaya bicaranya pun seolah benar-benar pengusaha sukses . Namun dibalik itu ternyata anak istrinya masih dibiayai oleh orang tuanya. Setiap kali sang istri menanyakan kemana “sang entrepreneur” pergi selalu dijawabnya “bisnis” namun tiada sepeserpun uang dikirim ke rumah. Bahkan sang istri tidak tahu dimanakah alamat “outlet-outlet” nya yang katanya sudah tersebar di beberapa tempat itu. Outlet tempat dia menitip barangpun kepada orang lain diakui sebagai miliknya.

Nah mana yang hendak kita pilih? Semoga bukan “lebaypreneur”… ;D Jadi ingat iklannya salah satu produsen rokok...
(Satrio)