Selasa, 19 Oktober 2010

Widgets

on

Love is More than Just Enough

Tepat dua tahun yang lalu yaitu pada tanggal 19 Oktober 2008 Venerabilis Louis dan Zélie Martin, pasangan suami isteri dan orangtua St Theresia dari Kanak-kanak Yesus, dibeatifikasi di Basilika St Theresia dari Kanak-kanak Yesus, Lisieux, Perancis. Beatifikasi ini adalah yang kedua kalinya dalam sejarah Gereja, diberikan kepada sepasang suami isteri. Sebelumnya tahun 2001 diberikan pada pasangan Beato Luigi dan Maria Quattrocchi.

Beatifikasi sendiri berasal dari kata beatus (yang berbahagia). Beatifikasi merupakan pernyataan dari gereja terhadap orang yang telah meninggal bahwa yang bersangkutan adalah yang berbahagia serta memiliki keistimewaan secara spiritual. Setelah menerima beatifikasi maka selanjutnya yang bersangkutan akan bergelar beato (untuk wanita) dan beata (untuk pria).

Beato Louis dan Beata Zélie Martin telah menjadi pasangan suami istri yang merupakan sebuah awal pendakian bersama dan membesarkan anak-anaknya dengan teguh dalam Iman Kristen. Karenanya keduanya layak menjadi teladan bagi pasangan suami istri Kristen lainnya. Demikian disebutkan oleh Kardinal Jose Saraiva Martins, Mantan Prefek Kongregasi untuk Masalah Santa Santo.

Tentulah bukan tanpa alasan yang kuat apabila gereja secara khusus melakukan beatifikasi terhadap pasangan suami istri yang layak menjadi teladan bagi pasangan lain.

Allah adalah Cinta Kasih, Allah menghayati misteri persekutuan Cinta Kasih antar Pribadi sambil menciptakan manusia menurut gambar dan rupa-Nya sendiri dan terus melestarikan keberadaannya.

Dalam diri manusia baik pria maupun wanita telah digoreskan suatu panggilan untuk bersekutu dalam cinta kasih.

Dan satu-satunya keadaan yang memungkinkan bagi manusia laki-laki dan perempuan untuk melakukan penyerahan diri sepenuhnya adalah melalui sebuah perjanjian cinta kasih yang dipilih secara bebas dan sadar oleh keduanya yaitu perkawinan.

Perkawinan dengan demikian bukanlah sebuah pemaksaan dan campur tangan dari pihak manapun dan kebebasan manusia tidak dibatasi oleh kesetiaan itu melainkan justru dilindungi dari setiap bentuk subyektivisme dan ekslusivisme serta diikut sertakan dalam Kebijaksanaan Sang Pencipta (Familiaris Consortio, #11)


Rasul Paulus dalam beberapa suratnya (Korintus dan Efesus) menggambarkan bahwa hubungan antara suami istri tak ubahnya hubungan antara Kristus dan jemaat-Nya.

Rasanya penggambaran dan penjelasan di atas sudah lebih dari cukup bagi kita untuk melihat serta memahami betapa besarnya arti cinta yang dipersatukan melalui Sakramen Perkawinan.

Sayang bahwa banyak orang tak terkecuali yang menyebut dirinya sebagai orang Kristiani sekalipun tahu makna dari cinta kasih namun tak sungguh menghayati dalam hidupnya.

Tentu tak jarang kita dengar orang bicara bahwa “love is just not enough” atau cinta saja tidaklah cukup. Buruknya kemudian dilanjutnya kata-kata perlu juga.....bla..bla...bla...

Padahal kata-kata yang mengikuti “perlu juga....” seringkali merupakan bagian dari perwujudan cinta kasih itu sendiri entah itu pengertian, pengorbanan dan sebagainya.
Cinta kasih mengandung banyak hal sebagaimana disebutkan oleh Rasul Paulus: sabar, murah hati, tidak sombong, tidak memegahkan diri dan sebagainya (I Kor 13:4-8). Dengan demikian pengertian, pengorbanan dan sebagainya sudah jelas adalah bagian dari cinta kasih.

Oleh karena adalah juga cinta kasih maka pengorbanan sekalipun yang didasari oleh kasih cinta sudah semestinya tidaklah terasa berat ataupun menyulitkan melainkan dirasakan sebagai sebuah kewajaran. Sebab jika tidak demikian maka tidaklah patut disebut sebagai cinta kasih.

Kasih dalam sebuah perkawinan adalah kasih antara kedua pihak yang tentu adalah dua pribadi yang berbeda. Sangatlah wajar apabila dalam relasi tersebut ada perbedaan-perbedaan namun hendaknya perbedaan tersebut disikapi secara bijaksana dan dewasa.

Semestinya bukanlah hal yang sulit apalagi mustahil karena jauh sebelum persatuan dalam perkawinan itu sendiri bukankah keduanya sudah belajar untuk saling mengenal, mengerti dan memahami.

Dengan demikian ketika sudah masuk dalam kehidupan perkawinan tentulah tidak banyak yang disesuaikan kecuali apabila keduanya atau salah satu diantaranya dipenuhi kepalsuan sebelum perkawinan. Sekalipun demikian patut kembali diingat bahwa perkawinan adalah “sebuah perjanjian cinta kasih yang dipilih secara sadar dan bebas oleh keduanya”. Sehingga tak ada alasan menyalahkan salah satu pihak ketika terjadi ketidakcocokan.

Hal yang paling buruk dan memalukan adalah ketika seorang Kristiani menyebut bahwa “cinta saja tidak cukup...kita harus realistis”, “kalau cinta saja mau makan apa?” dan kata-kata lain yang mengikutkan materi duniawi di dalamnya.

Terkadang ketika saya mendengar seorang Kristiani mengatakan demikian dalam hati saya bertanya apakah mereka lupa bahwa cinta adalah sebuah karunia yang begitu luar biasa dari Allah Bapa kepada kita dan cinta sendiri mendapat tempat yang sedemikian istimewa sebab Allah sendiri adalah Kasih?

Sudah lupakah mereka bahwa uang, harta, kekayaan dan hal materi lainnya adalah semata-mata pemberian Allah yang karena kemurahan-Nya memberi semua itu kepada kita agar kita lebih menghayati kasih-Nya dan memuliakan Nama-Nya?

Pantaskah mereka menyebut diri sebagai umat Kristiani namun lupa bahwa hal terbesar yang diberikan dan diteladankan oleh Kristus sendiri adalah cinta? Bukankah dengan cinta itu pulalah Kristus menebus kita? Atau anda pikir uang dan hartalah yang digunakan Kristus untuk menebus kita?

Allah akan senantiasa memelihara kita, mencukupi kebutuhan kita selama kita taat kepada-Nya dan menggunakan apa yang kita miliki untuk memuliakan nama-Nya. Bagaimana bisa kita menyebut diri taat dan memuliakan nama-Nya jika kita meyakini bahwa perlu “perlengkapan” lain yang menyertai cinta sementara cinta adalah teladan dan karunia-Nya yang terbesar?

Jika kita percaya akan pemeliharaan-Nya dalam hidup maka tak pantaslah bila kita menyebutkan harta kekayaan sebagai penentu kualitas cinta kasih. Mungkin dunia mengajarkan demikian namun bukankah Rasul Paulus juga telah mengingatkan agar kita tidak menjadi serupa dengan dunia ini (Rm. 12:2).

Kualitas cinta tak pernah berhubungan dengan kondisi ekonomi, ada banyak variasi keadaan ekonomi dan banyak pula variasi hubungan cinta kasih dalam perkawinan. Yang satu tak berkorelasi dengan yang lain.

Percayalah bahwa Allah akan memelihara kita jika kita hidup benar (Yes. 58:6-12) utamanya tentu dalam kehidupan keluarga yang dipersatukan dalam sakramen perkawinan sebagai basis kehidupan beriman. Kondisi ekonomi dan finansial hanyalah sebagian yang amat kecil dari bentuk pemeliharaan-Nya jangan jadikan alasan dan syarat dalam membangun cinta kasih.

Penentu kualitas cinta kasih dalam perkawinan adalah kedekatan masing-masing pribadi dengan Tuhan. Semakin dekat suami-istri dengan Tuhan maka semakin dekatlah hubungan antara suami dan istri.

Jika kita sungguh-sungguh mempersilakan Tuhan hadir dalam kehidupan keluarga maka tentulah ada cinta di dalamnya. Sebab cinta adalah tanda kehadiran Tuhan di tengah kita, dan oleh karena kita percaya bahwa Ia ada, hadir dan memelihara maka tak perlu kita khawatir akan apapun juga.

Cinta adalah bukti kehadiran dan penyertaan Tuhan karenanya cinta saja sudah lebih cukup dari apapun juga. Love is more than just enough.


Baik pula untuk dibaca:
Apa dan Mengapa Selibat
Beato Louis dan Beata Zélie Martin
Doa Harian Seorang Isteri
Doa Harian Seorang Suami
Haruskah Menikah di Gereja Katolik?
Menuju Perkawinan Kristiani yang Lebih Bahagia
Pembatalan Perkawinan = Perceraian Katolik?
Perkawinan yang Tak Terceraikan: Apa Kata Kitab Suci?
Sabda Bahagia Suami Isteri

Sejarah dan Spiritualitas Selibat