Senin, 02 Agustus 2010

Widgets

on

Refleksi Pribadi: Mengutamakan Tuhan

Berbagai peristiwa yang terjadi dalam hidup kita tak jarang merupakan bentuk dan cara Tuhan menyapa kita, namun tak setiap sapaan itu selalu kita terima atau bahkan kita sadari karena kita terlalu sibuk dengan berbagai pikiran, persepsi dan bahkan kekhawatiran.

Tema bacaan dan homili yang diangkat pada hari Minggu 1 Agustus 2010 kemarin awalnya saya rasakan sebagai salah satu sapaan Tuhan kepada diri saya secara pribadi namun ternyata setelah berbincang-bincang dengan istri saat makan malam kami bedua sadar bahwa sapaan tersebut juga untuk keluarga baru kami.

Bacaan-bacaan yang diambil dari Alkitab bukanlah hal yang asing di telinga saya, sejak kecil sudah sedemikian sering mendengarnya. Hanya saja tak jarang bahwa dalam perjalanan hidup sebuah ayat yang tadinya terasa biasa saja menjadi terasa bermakna. Bahkan tak jarang pula pemahaman saya sebagai orang awam terhadap salah satu ayat tidaklah tepat, seringkali hal ini disebabkan oleh kurangnya rasa peduli saya terhadap ayat-ayat tersebut.

Namun ketika suatu peristiwa terjadi tiba-tiba seolah disadarkan tentang makna sebenarnya dibalik ayat-ayat tersebut. Persepsi seringkali juga mengaburkan makna sebenarnya karena kita terlalu sibuk dengan pikiran dan keinginan, membuat saya sadar bahwa persepsi sering menyesatkan. Itulah juga mengapa John Main, OSB yang adalah seorang pastor menekankan pentingnya keheningan batin dan doa batin. Karena dalam keheningan kita tidak berpersepsi dan tidak menuntut melainkan pasrah serta membiarkan Roh Kudus membimbing kita. Tidak mudah memang namun tidak juga mustahil.

Hari Minggu kemarin bacaan dari Pengkhotbah (1:2; 2:21-23), Surat Rasul Paulus kepada umat di Kolose (3:1-5. 9-11) Lukas (12:13-21) benar-benar menyadarkan saya akan suatu hal sekaligus mengkoreksi beberapa pemahaman saya yang tidak tepat.

Kesia-siaan
Pengkhotbah menyebutkan berbagai hal tentang kesia-siaan. Dahulu saya berpikir bahwa yang dimaksudkan adalah bahwa kesemua yang disebutkan satu-per satu oleh Pengkhotbah adalah hal yang sia-sia untuk dilakukan maupun dimiliki.

Tak jarang ketika membacanya saya bertanya dalam hati sedemikian sia-sianya kah semua ini? Pekerjaan? Harta? Bahkan hidup? Kalau memang demikian lalu mengapa semuanya harus dijalani?

Baru belakangan saya pahami bahwa yang dimaksud oleh Pengkhotbah sia-sia adalah apabila hal-hal tersebut menjadi “keutamaan” dalam hidup kita.

Sering saya tak menyadari dan tak bermaksud demikian namun saya telah mengutamakan hal-hal tersebut ketimbang Tuhan sendiri.

Bukankah semua hal yang saya miliki apapun bentuknya bahkan materi sekalipun adalah berkat dari Tuhan? Pasangan hidup yang bisa saling bersinergi, usaha, kebahagiaan bahkan hal-hal materi baik besar maupun kecil seperti rumah, perabotan, bahkan jam tangan yang selalu saya pakai bukankah semua itu adalah pemberian Tuhan secara cuma-cuma?

Tapi sudah terlanjut terpola dalam diri saya terutama pada hal-hal yang materiil bahwa semua itu adalah berkat usaha dan kerja keras. Bukankah itu artinya saya “mendewakan” pekerjaan dan usaha saya lebih dari saya mengutamakan Tuhan sendiri? Padahal semua yang saya terima bukanlah hasil usaha dan kerja melainkan berkat cuma-cuma dari Allah. Dan berkat itu bisa datang dalam banyak cara bisa jadi melalui pekerjaan dan usaha, bisa jadi juga melalui pemberian orang lain. Yang manapun itu bukankah semuanya tak lebih dari saluran berkat? Namun bukankah berkat itu adalah dari Allah sendiri?

Bahkan selama ini saya telah begitu terbiasa, ketika diperhadapkan pada kebutuhan finansial misalnya hal pertama yang saya lakukan adalah melihat kapan jatuh tempo saya bisa menagih pembayaran ke pelanggan sehingga saya memiliki cukup uang untuk kebutuhan-kebutuhan. Atau memprediksi kira-kira pelanggan mana yang tak lama lagi akan melakukan order.

Kini saya sadari bahwa inipun adalah bentuk mengandalkan hal-hal lain di luar Tuhan meski sekali lagi saya tak bermaksud demikian. Tanpa saya sadari kebiasaan saya ini adalah bentuk meletakkan harapan pada hal lain selain Tuhan.

Kebiasaan lama dimana saya juga sering berpikir bahwa nantinya ketika usaha saya sudah sungguh berjalan dengan baik, kondisi perekonomian kami secara progresif meningkat, memiliki tingkat omzet tertentu maka kehidupan akan lebih baik dan lebih tenang. Itupun akhirnya saya sadari bahwa pemikiran demikian adalah pengharapan yang sia-sia.

Bukan sia-sia dalam arti mustahil untuk dicapai namun sia-sia karena saya berharap dan bersandar pada segala sesuatu yang sia-sia. Mestinya hanya Tuhan-lah satu-satunya yang menjadi sandaran dan andalan di dalam hidup.

Pengkhotbah tak mengatakan bahwa segala jerih payah, kebijaksanaan, ilmu, kepandaian dan harta adalah hal yang sia-sia. Namun adalah sia-sia jika kita mengandalkan hal-hal tersebut dan menjadikannya sebagai tujuan hidup.

Sebab sebagaimana pesan Rasul Paulus untuk jemaat di Kolose agar kita mencari hal-hal yang di atas berarti bahwa tidak menjadikan hal-hal duniawi sebagai tujuan ataupun andalan.

Baik Pengkhotbah, Lukas maupun Paulus tak bermaksud mengingkari adanya hal-hal duniawi namun tidak menjadikan hal-hal tersebut sebagai andalan, keutamaan maupun tujuan hidup.

Miskin di Hadapan Allah
Berapa kali saya mendengar dan membaca ayat ini namun belum lama juga saya memahami maksudnya. Dulu saya selalu berpikir bahwa miskin yang dimaksud adalah miskin dalam arti yang sebenarnya sehingga terkadang ada pemahaman dalam diri saya seolah antara ingin mengikut Yesus dan memiliki kekayaan duniawi adalah kedua hal yang bertentangan.

Akhirnya baru saya pahami bahwa yang dimaksud “miskin di hadapan Allah” adalah mengakui sepenuhnya bahwa apa yang kita miliki adalah berkat yang diberikan secara cuma-cuma oleh Allah. Karenanya kita merasa miskin sebab apa yang ada dalam diri kita adalah karena kasih-Nya kepada kita bukan karena usaha atau kerja keras.

Kekayaan bukanlah suatu hal yang ditentang atau dipandang tidak benar oleh Alkitab tentu selama diperoleh melalui jalan yang benar. Namun “mendewakan”, mengandalkan, mengutamakan kekayaan atau menjadikan kekayaan sebagai jalan hidup-lah yang tak berkenan di hadapan-Nya. Karena hendaknya selalu disadari bahwa semua itu sekali lagi adalah sebuah pemberian yang cuma-cuma dari Bapa kepada kita.

Kini saya mengerti mengapa Alkitab menyebutkan orang kaya susah masuk surga, bukan karena kekayaannya namun kepada siapakah seseorang bersandar. Kaya dan tetap meyakini bahwa semuanya adalah anugerah Tuhan sehingga Tuhan menjadi keutamaan dalam hidupnya tentu bukan masalah. Sebaliknya miskin namun penuh kedengkian, fitnah, kemarahan dan pengingkaran pada Tuhan maka lengkaplah deritanya baik di dunia maupun setelah kematian.

Percaya pada Penyelenggaraan Ilahi dan Mengandalkan Tuhan
Mudah bagi saya mengatakan percaya, namun tak selamanya hati dan tindakan saya menunjukkan sikap percaya. Kekhawatiran akan hari esok, masa depan atau apapun adalah sikap tidak percaya.

Doa saya yang seringkali bertele-tele penuh dengan permohonan yang kini saya sadari adalah sikap ketidakpercayaan pada penyelenggaraan Ilahi. Seolah saya tak percaya pula bahwa Tuhan sudah mengetahui apa yang kubutuhkan dan menyelidiki hatiku. Doa saya yang bertele-tele seolah ingin menegaskan ”ini lho keadaannya” atau ”ini lho yang saya mau”. Seolah kalau saya tidak menegaskan demikian Tuhan tidak tahu atau tidak bisa memberikan hal baik.

Percaya adalah lebih dari kata-kata, percaya datang dari hati. Ketika seseorang mengimani Allah dan percaya pada penyelenggaraan Ilahinya maka hati akan terasa tenang dan damai senantiasa. Sebagaimana disebut dalam Injil Matius (Mat. 6:25-33) bukankah hidup lebih penting dari hal-hal lain? Mengapa itu tak membuatku percaya pada pemeliharaan-Nya?

Itulah saya sadari pula pada akhirnya betapa Doa Bapa Kami yang sering diucapkan hanya sebagai hafalan dan rutinitas sesungguhnya mengajarkan banyak hal. Mengajarkan kesiapan kita menerima Kerajaan-Nya dalam diri kita serta penyerahan diri secara utuh dan total pada penyelenggaraan Ilahi dengan keyakinan bahwa Allah selalu memberi yang terbaik.

Lalu apa yang lebih penting? Saya sadar bahwa mengutamakan Allah lebih penting dari segalanya itulah mengapa Injil Matius (Mat. 6:34) lebih lanjut menyebutkan ”Carilah dahulu Kerajaan Allah dan kebenarannya...” Jika saya sungguh-sungguh mengutamakan Allah dan sungguh-sungguh mencari Kerajaan Allah dan kebenarannya maka hal-hal lain adalah tambahan yang diberikan-Nya secara cuma-cuma sebagai ”tambahan”.

Sayangnya selama ini saya mengutamakan dan mendahulukan ”tambahannya” ketimbang Allah sendiri. Beruntung Allah masih sudi menegur dan menyapa saya salah satunya melalui tema yang diangkat pada Ekaristi Minggu kemarin. Dan yang lebih disyukuri adalah Allah tak hanya menegur dan menyapa saya namun juga mau membuka hati saya untuk menerima sapaan-Nya.


”Ya Tuhan ajarkanlah kepada keluarga kami semangat penyerahan diri seutuhnya kepada Mu”