Senin, 09 Agustus 2010

Widgets

on

Ia Sungguh Tak Pernah Terlambat

Bacaan pada Misa hari Minggu, 8 Agustus 2010 kemarin yang diambil dari Ibrani 11 diceritakan bagaimana Abraham setia dan taat pada apa yang telah dijanjikan oleh Allah.

Namun yang menarik adalah bahwa Abraham sendiri yang adalah seorang hamba yang demikian taat pada Allah juga tidak senantiasa memiliki keyakinan iman yang konsisten dan progresif sepanjang hidupnya. Ada pula masanya Abraham mencoba bersikap “realistis” dan berusaha “menerima” bahwa pada faktanya memang keadaan demikianlah yang harus dihadapi meski Allah sebelumnya telah menjanjikan lain.

Meski Abraham tak lantas meninggalkan Allah karena merasa Allah tak menepati janji-Nya namun keraguan iman yang membuatnya bersikap “realistis” dan “menerima” menunjukkan bahwa Abraham sekalipun sempat goyah imannya.

Keteguhan iman Abraham walau demikian sungguh luar biasa sebab pada akhirnya Abraham tetap percaya pada janji Allah sehingga Allah sendiri memperhitungkannya sebagai kebenaran (Kej. 15:6).

Bacaan tersebut mengingatkan saya pada sebuah perstiwa yang terjadi belum genap setahun yang lalu. Sudah sembilan tahun hubungan saya dengan pacar saya (saat ini sudah menjadi istri) kala itu. Sejak memasuki tahun kedua kami sudah mulai serius merencanakan dan mempersiapkan banyak hal terkait masa depan.

Demikian yakinnya kami akan rencana-rencana tersebut hingga kami bahkan tak terusik ketika orang menanyakan mengapa kami tak segera menikah. Kami begitu percaya diri dan optimis menatap masa depan karena segala persiapan dan perencanaan terasa sedemikian matang.

Sejak tahun 2003 kami sudah merencanakan akan menikah di tahun 2009, dan semakin hari kami semakin yakin bahwa segala persiapan membangun rumah tangga sudah sedemikian sempurna. Baik dari segi mental maupun finansial, bahkan setahun sebelum menikah saya sudah bisa membeli rumah baru dan mobil baru. Usaha saya pun berjalan sangat lancar demikian pula halnya calon istri saya (ketika itu) sudah merasa mantap dan mencintai pekerjaannya.

Tak disangka bahwa beberapa bulan menjelang pernikahan kami suatu peristiwa terjadi yang menyebabkan saya mengalami kerugian besar. Peristiwa yang menjadi sebuah pukulan bagi kami berdua.

Oleh karena kami berdua sama-sama terbiasa mengatasi setiap persoalan sendiri dan tidak melibatkan orang tua maka benar-benar hanya kami berdua yang tahu persis peristiwa saat itu.

Ketika orang tua, saudara atau teman menanyakan seputar persiapan kami katakan semuanya lancar. Dan memang kami tidak banyak melibatkan orang tua, saudara atau teman karena semula memang hendak menyerahkan semuanya pada Wedding Organizer agar keluarga dan para sahabat datang hanya untuk menikmati bersama tanpa repot mengurus banyak hal.

Secara matematis sungguh tak masuk akal bahwa uang yang masih tersisa digunakan untuk acara pernikahan kami. Meski sebenarnya cukup jika hanya sekedar untuk Pemberkatan dan jamuan sederhana bersama para undangan, namun ada pihak-pihak tertentu yang menentang dan menghendaki diadakannya resepsi.

Kami sungguh tak tahu lagi apa yang harus dilakukan saat itu. Berbagai upaya dilakukan namun tak juga membuahkan hasil. Semua vendor yang telah kami pesan akhirnya dibatalkan. Kami terus berdoa dan membaca Alkitab bersama. Beberapa ayat dalam Alkitab mengingatkan kami bahwa Allah adalah Allah yang mungkin....Allah yang memelihara....Allah yang tahu dan peduli akan umat-Nya. Namun dalam kondisi sedemikian sulit menjaga iman dan kepercayaan bahwa Ia sungguh akan menolong kami.

Tak dapat terlukiskan perasaan kami waktu itu betapa kekhawatiran dan ketakutan terus menghantui hari-hari kami seolah keduanya lebih menguasai kami ketimbang Tuhan sendiri.

Antara nekat bercampur sisa harapan dan keengganan meminta bantuan orang lain akhirnya hingga bulan Desember 2009 masih belum ada solusi akan apa yang mesti kami lakukan.

Dengan sisa-sia uang yang ada kami nekat memesan dan membagikan Undangan, ketika banyak saudara dan teman dari jauh yang memastikan akan datang perasaan kami bercampur antara senang dan khawatir.

Pihak keluarga dekat yang sama sekali tak tahu menahu mengenai apa yang terjadi terus mempersalahkan kami yang dianggap terlambat dalam memesan undangan, membagi undangan dan sebagainya. Tentu tekanan semakin besar bagi kami berdua.

Kami bahkan menggunakan fasilitas Facebook, sms, telepon, e-mail untuk mengundang keluarga dan teman-teman yang terdaftar di sana mengingat bahwa undangan cetak memang baru jadi dua minggu menjelang hari H.

Saya sungguh ingat kala itu, seminggu sebelum hari H pernikahan (Pemberkatan kami direncanakan tanggal 19 Desember dan resepsi sehari sesudahnya) pagi hari kami pergi ke Gereja (hari Minggu) dengan perasaan tak karuan. Bahkan sepulang dari gereja pun perasaan kami tak kunjung membaik.

Petang harinya kami memberanikan diri dan menguatkan hati untuk berdoa bersama, kami mohon kepada Tuhan untuk menolong kami. Dan sekaligus kami mohon pengampunan jika apa yang hendak kami lakukan tidak berkenan bagi-Nya.

Setelah berdoa dengan tetap diwarnai kecemasan akhirnya kami menelepon salah satu Wedding Organizer. Istri saya yang menelepon karena kebetulan pernah bersama dalam suatu organisasi beberapa tahun silam. Melalui telepon dijelaskan bahwa kami butuh semua persiapan beres untuk tanggal 19 dan 20 Desember.

Meski sempat terkejut karena waktunya sangat mepet akhinya dia menyanggupi. Memang pada bulan Desember 2009 itu tidak banyak yang melangsungkan pernikahan. Bahkan dalam kursus perkawinan di gereja saya (GKPM) hanya ada 3 pasangan termasuk kami dan di gereja calon istri (GKI) hanya kami berdua pesertanya. Kondisi ini awalnya kami anggap sebagai kebetulan yang menguntungkan namun kini kami sadari bahwa tidak ada kebetulan.

Dalam kurun waktu seminggu kami berdua dibantu WO sungguh sibuk dengan berbagai macam hal dan urusan. Sambil tetap dipenuhi kekhawatiran namun kami terus berdoa dan berharap pada pertolongan-Nya. Sebab meski persiapan sudah berjalan kami tidak tahu juga harus membayar dengan apa nantinya. Memang perjanjian dengan pihak WO dibayar Rp 10 juta di muka dan pelunasan seminggu setelah resepsi.

Hal-hal baik mulai datang bersama dengan persiapan kami, bantuan tak terduga dari beberapa pihak yang bahkan tanpa kami minta. Keluarga adik saya menyumbangkan souvenir untuk dibagikan pada resepsi pernikahan kami, pihak WO bersedia menyewakan gaun terbarunya yang belum pernah dipakai dengan harga sewa sama, seorang rekan bisnis memesankan kamar hotel untuk kami berdua dan masih banyak lainnya.

Bahkan sebenarnya jauh sebelum itupun kami sudah beroleh kemudahan dalam mengurus ijin pernikahan beda gereja yang menurut pengalaman beberapa teman cukup rumit ternyata kami mengalami sebaliknya. Bagi kami ini adalah anugerah tersendiri.

Pada titik inilah kami mulai sadar bahwa Tuhan sungguh bekerja bersama kami, karenanya keraguan dan kekhawatiran perlahan mulai hilang dalam diri kami berganti dengan rasa syukur, optimisme dan sukacita.

Akhirnya tibalah tanggal 19 Desember 2010, tiada ketegangan dan kekhawatiran dalam diri kami. Tak seperti yang diceritakan oleh banyak orang tentang ketegangan di hari pernikahan. Kami justru merasakan anugerah yang sedemikian luar biasa. Saya sendiri saat itu seolah dalam hati tak bisa berhenti mengucap syukur kepada Tuhan atas kebaikan yang tak terungkapkan dengan kata-kata.

Kami berdua dipenuhi rasa syukur dan bahagia meski pada saat itupun masih belum tahu bagaimana melunasi biaya pernikahan ini. Namun tak lagi penting rasanya karena kini kami tahu dan sadar akan penyertaan-Nya.

Resepsi keesokan harinya pun berjalan dengan sangat baik dan lancar, kami sungguh merasa lepas dari kesesakan yang sebelumnya terasa menghimpit sepanjang hari.

Malam hari kamar hotel kami berdua tak berhenti satu sama lain berbicara betapa baiknya, betapa ajaibnya Tuhan yang kami sembah. Bahkan dengan iman kami yang jauh dari sempurna pun Ia sudi menolong kami.

Kebaikan terus terjadi dalam hidup kami, istri saya baru tahu bahwa ternyata kantornya menyediakan fasilitas pinjaman uang untuk pernikahan. Sebuah pembayaran dari customer yang sudah saya anggap tidak tertagih ternyata masuk ke rekening saya dengan pemberitahuan melalui SMS.

Kini memang pada akhirnya demi melanjutkan berjalannya usaha saya terpaksa rumah dan mobil dijual. Kami tinggal dalam rumah kontrakan dan kembali menggunakan sepeda motor yang dibeli istri saya dari gajinya ketika masih lajang namun keadaan ini tak menyurutkan kami.

Pun ketika di awal pernikahan kami sempat difitnah oleh sekelompok orang tertentu dengan motivasi ingin mendapat pujian di mata orang lain tak juga membuat kami gentar atau merasa terganggu sedikitpun. Fitnah tersebut tak juga kami tanggapi. Sebagaimana Gandhi pernah berkata: “Sia-sia berbicara dengan akal sehat kepada orang yang hatinya tertutup” kamipun memilih diam dan menjalani hidup dengan baik seolah hal itu tak pernah terjadi.

Damai sejahtera dan kasih karunia-Nya sungguh melampaui semua itu. Menyadari bahwa kasih karunia Allah dan berkat penyertaan-Nya dalam hidup kami yang terasa demikian nyata telah menjadi kekuatan yang menghidupi kami. Meski harus melepaskan semua harta yang tadinya telah dipersiapkan dengan baik namun hubungan kami sebagai keluarga baru sangatlah baik.

“Karena di mana hartamu berada, di situ juga hatimu berada.” (Mat. 6:21) kini kami mengerti maknanya. Selama ini kami telah merasa aman karena harta di bumi padahal semestinya rasa aman adalah berasal dari rasa percaya kepada Tuhan. Itulah harta dimana ngengat dan karat tidak akan merusaknya.

Mungkin memang melalui peristiwa itu Ia hendak mengingatkan dan menegur kami. Bahwa Ia sudi menegur kami dan membuka hati kami untuk mendegar sapaan-Nya itupun bagi kami adalah hal yang patut disyukuri.

Teguran dari Tuhan telah menjadikan kami mengawali proses membangun keluarga dengan benar dimana Kristus sungguh menjadi pemersatu dan andalan bagi kami. Kini kami berdoa dan bertekun semoga kami mampu mempertahankan iman ini dalam segala peristiwa sepanjang hidup. Sebab kami sadar bahwa perjalanan ini masih panjang dan tak seorangpun tahu hingga kapan waktunya tiba.

Hingga kini pun orang tua dan saudara-saudara tetap tidak tahu apa yang terjadi ketika itu. Kecuali jika mereka membaca tulisan ini namun setahu saya tak satupun dari mereka yang menjadi pembaca blog kami dan nampaknya bahkan tak tahu keberadaan blog ini :)