“Take an action!!”
“Action dulu yang penting...”
Mungkin kata-kata tersebut tidaklah asing di telinga sebagian dari kita terutama pada seminar-seminar yang sedang marak belakangan ini. Bahkan hampir setiap jawaban dari pertanyaan yang diajukan dijawab dengan kalimat tersebut atau setidaknya diakhiri dengan kalimat tersebut.
Bagi sebagian orang mungkin kata-kata tersebut cukup memberikan sebuah keberanian untuk bertindak sebab memang tak sedikit orang yang pada dasarnya telah tahu apa yang semestinya dilakukan hanya saja masih tersimpan keraguan di dalam dirinya.
Meski demikian tak lantas setiap orang puas dengan kalimat itu. Beberapa orang justru bertanya dalam hati:
“Ya...take an action, tapi apa?”.
Apakah Anda salah satu di antaranya? Terus terang saya adalah salah satu diantaranya.
Dulu ketika di awal-awal saya mengikuti pertemuan dan seminar kewirausahaan baik sebelum maupun setelah keluar kerja saya merasa bingung dengan kalimat-kalimat itu. Saya tahu bahwa untuk memulai suatu langkah diperlukan tindakan nyata, mengenai hal ini tak saya pungkiri kebenarannya. Namun pertanyaan saya adalah ke arah mana? Langkah yang mana? Dan ketika saya mencari jawabnya tak satupun yang memuaskan atau mencerahkan.
Akibatnya dengan membabi buta saya melakukan “action”, karena katanya “Yang penting action” maka itu pulalah yang saya lakukan siapa tahu setelah melangkah ketemu jawabnya. Berbagai tindakan nekad saya lakukan mulai dengan modal kecil, modal sedang hingga yang cukup besar.
Sejak pagi hingga larut malam saya bekerja keras dan memutar otak untuk menjalankan usaha-usaha itu bahkan menjelang tidurpun pikiran saya tak lepas darinya. Waktu demi waktu berlalu, usaha keras ternyata tak memberikan hasil yang diharapkan sehingga berujung pada sebuah kekecewaan.
Untung saja kekecewaan tersebut tak sampai pada tahap putus asa. Meski demikian saya merasa sangat lelah karena setelah segala jerih payah yang dilakukan ternyata tak membuahkan hasil. Dari segi pengalaman mungkin ya namun tetap saat itu saya merasa tak sebanding dengan usaha yang sudah dilakukan.
Di tengah kondisi demikian saya berusaha menenangkan diri dan melepaskan kepenatan yang ada dengan melakukan berbagai hal yang membuat saya senang. Hal-hal yang cukup lama saya tinggalkan karena sebagaimana umumnya seorang yang telah dewasa menganggap segala kegiatan itu tidak bermutu dan tidak produktif.
Karena memang tujuannya adalah melepas kepenatan maka saya kembali melakukan “hal-hal tidak bermutu dan tidak produktif “ itu mulai dari mengkoleksi car model hingga memelihara ikan koi. Keduanya tentu saja juga bukan hobi murah sehingga menghabiskan cukup banyak dana meski tak sebesar yang saya gunakan untuk menjalani berbagai jenis usaha sebelumnya.
Awalnya memang ada perasaan bersalah karena menghabiskan cukup banyak uang untuk hal-hal tersebut, namun saya berusaha mengesampingkan perasaan itu dan berfokus pada rasa senang melakukan kegiatan tersebut.
Setelah mampu mengesampingkan perasaan bersalah dan benar-benar menikmati kegiatan koleksi car model dan memelihara koi ditambah semakin luasnya pergaulan akibat dari menjalankan hobi tersebut saya mulai menemukan ide-ide baru dan semangat untuk memulai usaha.
Awalnya memang hanya sekedar menjalankan hobi dan mencari kesenangan secara positif namun dari kegiatan itu saya mendapatkan banyak hal dan melihat berbagai peluang. Peluang yang memungkinkan saya untuk melakukan usaha sekaligus menjalankan hobi. Bersenang-senang tapi bekerja, bekerja tapi juga bersenang-senang. Inilah inspired action bukan asal melangkah dengan membabi buta namun melangkah berdasarkan inspirasi.
Kali ini hasilnya pun jauh lebih memuaskan daripada apa yang pernah saya jalani sebelumnya. Tingkat tekanannya jauh lebih minim karena saya melakukan dengan senang hati.
Inspired action bukanlah hal yang sulit untuk ditemukan dalam diri setiap orang, karena pada dasarnya hal itu merupakan kondisi alamiah. Meski demikian tak lantas setiap orang dapat menemukannya begitu saja.
Mengapa demikian? Sebab sekalipun merupakan kondisi alamiah namun kita memiliki kecenderungan untuk menutup diri terhadap kondisi ini. Bertahun-tahun kita dilatih dan melatih diri membentuk sebuah believe system yang sebenarnya tidak alamiah namun dikondisikan demikian dalam masyarakat.
Di luar believe system tersebut masih ada hal-hal dalam diri kita yang memungkinkan kita tidak dalam kondisi alamiah untuk menemukan inspired action. Hal-hal tersebut berupa emosi-emosi negatif; kemarahan, kekecewaan, iri, kesedihan dan sejenisnya.
“Kegiatan tidak bermutu dan tidak produktif” yang saya sebutkan sebelumnya adalah salah satu bentuk dari believe system yang sudah terbentuk. Kita terlanjur meyakini bahwa seorang dewasa mestinya menyingkirkan kesenangan dan fokus memikul berbagai tanggung jawab. Ya, memang tidak salah bahwa tanggung jawab merupakan hal penting namun tak juga berarti melakukan kesenangan adalah tindakan tak bertanggung jawab (kecuali jika kesenangan yang dilakukan adalah kesenangan yang tak bertanggung jawab).
Rasa iri melihat teman-teman seusia atau tetangga yang kehidupannya sudah lebih baik dan lebih mapan atau kekecewaan karena merasa tempatnya bekerja tak cukup memberinya peluang untuk berkarir atau bisa juga kemarahan karena merasa pemerintah tidak memberikan kesempatan yang adil bagi warganya. Perasaan-perasaan ini adalah bentuk emosi negatif yang bersama-sama dengan believe system mengkondisikan kita tidak mampu lagi menemukan inspired action.
Struggle action tentu bukan jawabannya, terlihat berapa banyak orang yang berusaha mati-matian bekerja memperbaiki kondisi hidup dan ekonomi namun hingga pensiun tak juga mencapai apa yang diinginkan. Bukan karena kurangnya usaha namun dia berusaha mengkompensasi ketidakberadaannya dalam kondisi alamiah melalui kerja keras dan struggle actions. Sementara di lain pihak ada orang yang terlihat santai dan bersenang-senang namun menghasilkan jauh lebih besar.
Tidak perlu usaha yang luar biasa untuk mengembalikan diri kita pada kondisi alamiah yang memungkinkan kita menemukan inspired action. Cukup dengan berhenti dari kebiasaan “menikmati” emosi-emosi negatif dan cukup dengan berhenti meyakini bahwa believe system yang diajarkan oleh lingkungan kita adalah harga mati.
Ketika kita mampu mengakrabkan diri dengan emosi positif maka kita sudah semakin dekat dengan kondisi alamiah. Banyak cara untuk memfokuskan pada hal positif, pengalaman saya misalnya kegiatan koleksi car models dan pelihara koi membantu saya fokus pada hal-hal menyenangkan. Semakin sering mengapresiasi sesuatu dan semakin banyak bersyukur membawa kita semakin akrab pada emosi positif.
Sedangkan believe system sifatnya relatif pada setiap orang, pada orang yang tidak terlalu peduli dengan pandangan orang lain maka relatif mudah mengatasinya sementara pada orang orang terbiasa memerlukan persetujuan orang lain akan membutuhkan lebih banyak waktu meski bukan hal mustahil untuk diubah, a believe is only a thought that you keep thinking! The only thought that you keep thinking is a believe. So...change your thought and slightly you’ll change your believe...
Jadi tak jauh beda dari beberapa tulisan saya sebelumnya bahwa yang terpenting adalah berdamai dengan diri sendiri. (Satrio)
“...the fastest way to get to a new-and-improved situation is to make peace with your current situation. By making lists of the most positive aspects you can find about your current situation, you then release your resistance to the improvements that are waiting for you” (Abe).
Selasa, 22 Juni 2010
on
11.52