Pertanyaan diatas seringkali merupakan pertanyaan yang seringkali muncul dalam benak kita. Pertanyaan itu bisa datang kapan saja, saat kita berhasil meraih sesuatu, saat kita merasa gembira, saat kita sedih, saat kita ada dalam situasi tertentu, atau saat kita menghadapi suatu masalah.
Pertanyaannya sama, yang seringkali membedakan adalah perasaan kita menghadapi pertanyaan itu. Bagi saya sesungguhnya pertanyaan itu dalam situasi apapun adalah pertanyaan yang biasa. Perasaan kita-lah yang membuatnya seolah-olah berbeda jika datang dalam situasi yang berbeda. Pertanyaan itu hanyalah pendahuluan untuk melakukan tindakan berikutnya.
Apabila dalam situasi yang secara umum terkategori menyenangkan, pertanyaan itu datang seolah tanpa beban, tidak terlalu dipikirkan juga bukan merupakan masalah dan bahkan seringkali juga berlalu begitu saja. Namun dalam situasi yang lain, jika pertanyaan itu muncul dalam situasi yang tidak menyenangkan, karena masalah tertentu yang dihadapi maka pertanyaan itu seolah begitu menghantui, membuat terhanyut di dalamnya, dan menjadi beban.
Dalam situasi yang menyenangkan, kita mampu melihat berbagai kemungkinan tindakan apa yang harus dilakukan selanjutnya. Kemungkinan tersebut juga diwarnai hadirnya perasaan nyaman. Sebaliknya dalam situasi yang tidak menyenangkan, pertanyaan ‘apa yang harus dilakukan?’ seringkali merupakan suatu keluhan, nyaris atau sudah merupakan keputus asa-an, atau tanpa disadari merupakan bentuk dari sikap mengasihani diri sendiri. Dalam situasi ini nampaknya apa yang di depan semua berwarna kelabu dan susah dijalani.
Sekali lagi, “Apa yang harus dilakukan?” adalah pertanyaan biasa. Dalam situasi apapun untuk menjawab hal tersebut harus didasarkan pada kedamaian. Kedamaian yang dimaksudkan disini adalah berdamai dengan diri sendiri. Keadaan yang damai dengan diri sendiri ditandai dengan perasaan yang nyaman.
Bagi saya situasi ini secara tepat digambarkan dalam kalimat “damai sejahtera Allah yang melampaui segala akal melingkupi hati dan pikiranmu”. Melampaui segala akal, artinya damai dapat kita rasakan dalam situasi apapun juga karena sesungguhnya Allah sendiri yang telah memberikan damai sejahtera tersebut dalam hati dan pikiran kita.
Berdamai dengan diri sendiri artinya kita dapat melihat diri kita sendiri apa adanya (termasuk segala situasi yang kita alami) dan menerimanya dengan penuh syukur. Dalam hal ini berarti kita mampu melihat keadaan apapun yang menimpa kita secara jujur dan tanpa prasangka. Artinya kita mampu melihat diri kita sebagai diri kita tanpa dipengaruhi oleh pandangan orang-orang di sekeliling kita.
Seringkali ketika mencoba melihat diri sendiri, kita dipengaruhi oleh berbagai pandangan orang lain terhadap diri kita. Apa yang dikatakan orang lain seringkali dipakai sebagai alat penilai bagi diri sendiri. Jujur terhadap diri sendiri berarti mau melihat diri kita beserta seluruh kelebihan dan kekurangan serta situasi yang kita hadapi secara benar. Hal ini berarti tidak ada penyesalan atau kekhawatiran terhadap diri kita apa adanya. Seluruh keberadaan diri diterima dengan tulus dan penuh syukur sebagai pemberian.
Sebagai contoh misalnya, ada dua bersaudara dalam sebuah keluarga. Si kakak sejak kecil menunjukkan kemampuan akademis yang jauh lebih baik dari adiknya. Selain itu si kakak juga memiliki banyak teman dan ramah. Orang tua kedua kakak beradik ini terutama Ibunya, selalu mengatakan kepada si adik kalau dia memang bodoh. Kepada saudara-saudara diceritakan bahwa si adik tidak pandai seperti, canggung dan pemalu tidak seperti kakaknya yang pandai dan banyak teman. Mereka mengatakan sebagai orang tua mereka menerima saja keadaan itu.
Demikian terjadi bertahun-tahun sampai si adik juga ikut meyakini bahwa dia memang bodoh dan canggung. Sampai suatu ketika di SMA dia mengikuti tes IQ dan kepribadian bersama si kakak. Dari sisi IQ skor mereka hampir sama namun dari sisi kepribadian justru si adik memiliki kepribadian yang lebih baik dari kakaknya. Kemudian di titik inilah si adik mulai melihat kembali dirinya, menyelami siapa dirinya, dan menerima keadaannya. Si adik memutuskan untuk berhenti percaya pada persepsi orang tua dan lingkungannya tentang dirinya, berhenti pula melakukan tindakan yang dilandasi keinginan mematahkan pendapat orang lain akan dirinya, berhenti menyesali diri dan berhenti menyalahkan situasi yang dialaminya. Keputusan yang diambil adalah untuk melihat dirinya secara utuh sebagaimana adanya dan mensyukuri keberadaan dirinya. Dalam keadaan ini dia telah berdamai dengan dirinya.
Setelah mampu berdamai dengan diri sendiri, maka kita berada dalam keadaan yang nyaman. Hal ini memngkinkan kita untuk memiliki perasaan yang positif. Perasaan yang positif akan membawa dampak yang luar biasa besar (the Power of Feeling Good), karena perasaan yang positif memampukan kita melihat dunia dengan perspektif yang berbeda, perspektif yang penuh warna-warna kegembiraan dan kemampuan untuk mengapresiasi hal-hal yang terjadi dalam hidup kita dengan penuh syukur.
Perasaan yang positif membuat kita mampu menghargai hal-hal kecil dan memfokuskan diri ada hal-hal baik dalam hidup. Sehingga alih-alih terus berkutat dengan hal-hal yang tidak kita sukai, kita mengarahkan diri pada hal-hal yang kita sukai.
Tanda kita telah memiliki perasaan positif adalah ketika kita mampu untuk melihat setiap situasi dengan positif. Hal ini antara lain nampak dari tiadanya penyesalan atas keputusan yang telah diambil sebelumnya, tidak ada lagi kepustus-asaan, tidak ada lagi keinginan menyalahkan orang lain, tidak ada lagi keinginan dikasihani, dan dan tidak ada lagi perasaan menjadi korban.
Semua ini mungkin terjadi karena perasaan positif adalah buah dari berdamai dengan diri sendiri. Sehingga dalam keadaan ini maka damai sejahtera Allah yang melampaui segala akal ada didalam hati kita. Oleh karenanya, dalam keadaan damai dengan diri sendiri tentu saja tidak ada lagi kecenderungan mengasihani diri, pikiran serba suram tentang masa depan, rasa bimbang dan takut untuk melangkah, kekhawatiran tentang masa depan, atau kekhawatiran tentang pandangan orang lain terhadap keputusan yang akan kita ambil.
Kembali pada pertanyaan awal tulisan ini yaitu “Apa yang harus dilakukan?”. Pertanyaan ini muncul dari ketidakyakinan tindakan yang harus diambil. Pertanyaan ini muncul karena kita tidak mendengar bimbingan Roh Kudus yang ada dalam diri kita. Tidak mendengar karena kita dikuasai oleh perasaan yang negatif, sehingga perasaan kita dipenuhi oleh kesedihan, kemudian kita menyalahkan orang lain, menyalahkan situasi, takut, merasa patut dikasihani, telah menjadi korban, terbeban dengan pandangan orang lain, dan seterusnya. Sekali lagi perasaan itu membuat kita dalam keadaan yang jauh dari kedamaian.
Sebaliknya perasaan positif membuat kita mampu mendengar bimbingan Roh Kudus yang ada dalam diri kita. Dengan demikian kita akan tahu apa yang harus dilakukan. Oleh karenanya adalah konsekuensi logis bahwa yang tahu jawaban dari pertanyaan diri sendiri mengenai “apa yang harus dilakukan?” adalah diri kita sendiri. Dengan demikian ketika mempertimbangkan mengenai tindakan yang harus diambil maka pertimbangannya adalah kesadaran diri (yang mendengar bimbingan Roh Kudus) mengenai apa yang terbaik untuk dilakukan bagi diri kita.
Menggunakan kalimat berbeda, ketika kita bertanya pada diri sendiri apa yang terbaik untuk dilakukan dalam keadaan damai dengan diri sendiri dan tentu saja dengan perasaan yang positif, maka jawaban dari pertanyaan tersebut adalah hal terbaik bagi kita.
Orang lain dan lingkungan boleh saja memberi aneka pertimbangan, namun kita harus ingat bahwa mereka memberi pertimbangan atas dasar diri mereka sendiri. Pertimbangan tersebut diberikan dengan berbagai motivasi dan latar belakang yang belum tentu kita ketahui dan belum tentu sesuai dengan kita.
Untuk berdamai dengan diri sendiri adalah hal yang mudah. Kemudahan ini bukan disebabkan karena gampang atau susahnya keadaan yang kita hadapi melainkan hanyalah karena kemauan. Jika kita mau maka berdamai dengan diri sendiri adalah hal yang mudah dilakukan.
Berdamai dengan diri sendiri membuahkan perasaan yang positif sehingga kita mampu mendengar bimbingan Roh Kudus dan mengetahui jawaban atas pertanyaan “apa yang harus dilakukan?”
(Indirani)
Jumat, 25 Juni 2010
on
10.04