Selasa, 16 Desember 2008

Widgets

on

Perceived Luxury Values

Apa yang terbayang di benak Anda ketika mendengar merk Roll Royce atau Rolex? Ya tentu sebagian besar orang akan membayangkan kemewahan dan eksklusivitas. Sebenarnya apa yang menjadikan merek atau produk tertentu dipersepsi mewah oleh pelanggan? Apa motivasi pelanggan mengkonsumsi produk yang dianggap mewah?

Kemewahan dalam sebuah produk pada dasarnya terdiri atas dua aspek yaitu tangible dan intangible. Aspek tangible meliputi hal-hal yang dapat dilihat oleh mata seperti bangunan, mobil atau barang-barang lainnya. Sedangkan intangible lebih mengarah kepada nilai-nilai yang diyakini oleh kelompok pelanggan tertentu. Menurut teori “Impression Management” perilaku pelanggan dalam melakukan sebuah keputusan beli sangat dipengaruhi oleh dorongan internal untuk membentuk persepsi tertentu kepada lingkungannya (Berry, 1994; Ditmar, 1995; Corneo and Jeanne, 1997; Frost, 2002). Karenanya keputusan pelanggan dalam menentukan dan membeli produk atau merk mewah dipengaruhi baik oleh faktor internal dalam dirinya maupun reference group.

Karena pengaruh internal dan reference group itulah maka persepsi terhadap kemewahan bisa jadi berbeda untuk setiap individu dan setiap kelompok. Meski ada merk-merk tertentu yang lenih dapat diterima secara global sebagai merk mewah namun ditemukan juga produk atau merk tertentu yang dianggap mewah oleh kelompok konsumen tertentu dan dianggap biasa saja oleh kelompok yang lain. Contohnya batik yang di luar Indonesia dipersepsi memiliki nilai seni yang tinggi dan lebih dihargai karenanya dipersepsi mewah pula, namun di Indonesia sendiri belum setiap kelompok pelanggan berpersepsi demikian. Country of origin sedikit banyak juga memengaruhi persepsi.

Beberapa peneliti mengelompokkan motivasi keputusan beli terhadap produk atau merk mewah menjadi lima aspek yaitu persepsi untuk mengaktualisasi diri, hedoisme, persepsi untuk tampil beda, persepsi terhadap keunikan dan persepsi kualitas.

Athola (1984), Chapman (1986), Sheth (1991), Hirschman dan Holbrook (1992), Kim (1998) menyebutkan empat dimensi nilai kemewahan:

Financial Dimension, dimensi ini terkait dengan harga, harga jual kembali, nilai investasi dan lain sebagainya. Harga dan pengorbanan yang diperlukan untuk dapat membeli sebuah produk/layanan/merk menentukan persepsi konsumen terhadap mewah atau tidaknya produk/layanan/merk tersebut.

Functional Dimension, terkait dengan fungsi atau manfaat utama dari produk/layanan/merk itu sendiri. Di dalamnya terkandung pula kualitas, keunikan, reliabilitas, daya tahan dan kegunaannya.

Individual Dimension, di dalamnya meliputi materialisme, hedoisme dan nilai-nilai pribadi.

Social Dimension, dengan memiliki atau membeli produk/layanan/merk yang mewah individu berharap memperoleh pengakuan dari lingkungannya. Dimensi ini diyakini menjadi dorongan terkuat bagi konsumen untuk membeli kemewahan.

Sekarang sedikit banyak kita telah mengetahui dimensi-dimensi yang membentuk persepsi mewah. Lalu apa manfaatnya? Bagi marketer dan wirausahawan yang ingin membidik segmen high-end tentu saja pengetahuan tentang dimensi dan motivasi ini menjadi penting. Bukan rahasia bahwa produk yang menyasar segmen ini cenderung tahan terhadap goncangan ekonomi. Meski pelayanan yang dituntut seringkali berkesan ribet namun hasilnya sepadan sebab segmen ini sudah pasti memiliki ability to buy tinggal bagaimana kita bisa membuatnya memiliki willingness to buy bahkan mengubah want menjadi need.

Jadi setelah kini kita memahami dimensi dan motivasi tersebut tinggal bagaimana kita menggali kreativitas dalam memasarkan dan menjual (ingat marketing is not selling!!) produk kita. Have a fun... (Satrio A. Wicaksono, owner SINERGI INDONESIA)