Menariknya di sebuah Sekolah Dasar yang dikunjunginya dia terheran-heran ketika melihat anak-anak SD mengerumuni penjaja makanan yang membawa panci di atas sepeda. Gates sebelumnya sudah cukup penasaran melihat cara berjualan sang pedagang yang menurutnya unik.
Terlebih ketika kemudian anak-anak SD mengerumuni pedagang itu pada jam istirahat betapa makin penasarannya dia. Awalnya dia pikir anak-anak tersebut akan mengerumuninya untuk bertanya banyak hal ternyata justru sang pedagang itulah yang lebih menarik perhatian mereka.
Saking penasarannya kemudian Gates bertanya sebenarnya apa yang dijual pedagang itu kepada staff-nya. Staff tersebut lalu menjelaskan bahwa pedagang itu menjual makanan yang di Jawa Tengah dikenal sebagai “cilot” atau “penthol cilot”
Gates bahkan kemudian meminta staff-nya untuk membeli makanan tersebut karena dia penasaran untuk mencicipinya. Semula staff tersebut agak ragu untuk meluluskan permintaan Gates namun karena bersikeras akhirnya permintaan itu dituruti juga.
Selesai mencicipi beberapa tusuk “cilot” Gates dan rombongan lantas meneruskan perjalanan mengingat agenda hari itu masih cukup padat. Namun setelah lebih kurang satu jam di dalam mobil dia mengeluhkan rasa sakit pada perutnya dan minta diantar terlebih dahulu ke Rumah Sakit terdekat.
Kebetulan sekitar 30 menit dari lokasi mereka berada ada sebuah Rumah Sakit International maka rombongan akhirnya putar balik menuju rumah sakit.
Setelah diperiksa dan didiagnosa diketahui bahwa sakit yang dikeluhkan akibat bakteri yang diperkirakan berasal dari makanan. Gates pun curiga pada “cilot” yang dimakannya beberapa saat yang lalu. Kebetulan masih ada sisa yang belum dimakan maka dia minta laboratorium untuk meneliti makanan itu.
Hasil uji di lab menunjukkan bahwa benar “cilot” tersebut tidak dimasak dengan benar sehingga masih ada bakteri-bakteri yang tidak mati dimana semestinya jika dimasak hingga mendidih tidak akan terjadi demikian.
Terpaksa Gates membatalkan agendanya di hari itu untuk beristirahat di hotel. Pembatalan agenda ini baginya adalah sebuah kerugian sebab salah satu di antaranya adalah negosiasi kerja sama bisnis dengan salah satu calon rekan strategis yang kebetulan juga sedang berkunjung ke Indonesia.
Saking jengkelnya atas kejadian ini Gates kemudian meminta pada pengacaranya untuk menuntut sang penjual “cilot”. Gates tahu betul bahwa tak mungkin si penjual “cilot” bakalan mampu mengganti kerugian yang ditimbulkan akibat perbuatannya entah sengaja maupun tidak.Namun ia hanya hendak memberi pelajaran kepada pedagang itu agar lebih berhati-hati dan bertanggung jawab atas produk yang dijualnya.
Proses ini berlangsung sangat panjang dan bahkan polisi menemukan bahwa sang pedagang mengambil air dari aliran sungai yang mengalir di depan rumahnya dimana sungai tersebut dipenuhi oleh sampah. Ditambah lagi air tersebut tidak dimasak hingga mendidih karena sudah terburu mengejar waktu jam istirahat di SD tempatnya berjualan.
Belum sampai proses ini berakhir beberapa media mulai mencium kejadian tersebut, masyarakat Indonesia mulai bereaksi menentang dan menyebut bahwa Gates tidak berperikemanusiaan. Bagaimana mungkin seorang yang termasuk salah satu orang terkaya di dunia tega menuntut pedagang “cilot” yang hanya bergantung pada dagangan “cilot”nya untuk menghidupi keluarga? Apalagi yang diderita Gates hanya diare yang sudah biasa dialami oleh banyak orang.
Tak sedikit yang mulai berdemo dan menyerukan boikot terhadap produk Microsoft (padahal mereka ini pemakai produk Microsoft bajakan).
Gates yang sudah lama kembali ke US mendapat laporan situasi ini dari penasehat hukumnya. Dia merasa heran atas reaksi masyarakat, Gates kemudian bertanya pada salah seorang staff:
“Andaikata aku dalam posisi saat ini melakukan sama persis seperti yang dilakukan pedagang itu kepadaku dan korbannya adalah si pedagang ‘cilot’ apakah masyarakat juga akan bereaksi membelaku dan mendemo si penjual ‘cilot’?”
Staff tersebut kemudian menjawab
“Tidak pak”
“Karena saya bukan orang Indonesia?” tanya Gates lagi.
“Bukan Pak... itu karena Anda adalah salah seorang terkaya di dunia” jawab staff-nya.
Tentu saja kejadian di atas tidak benar-benar terjadi di dunia nyata, hanya di dalam imajinasi liar saya semata.
Namun yang hendak saya sampaikan adalah betapa seringnya orang bicara keadilan namun membodohi keadilan itu sendiri.
Sering kali pihak yang tampak superior entah secara ekonomi, fisik, usia, gender atau apapun tak dinilai secara objektif ketika berhadapan dengan pihak yang dianggap inferior.
Perhatikan bagaimana masyarakat mudah bereaksi ketika melihat pihak superior menindas dan merugikan pihak inferior. Namun hampir tidak ada reaksi yang sama ketika kondisinya dibalik. Apakah selalu pihak inferior benar dan sebaliknya?
Bahkan tidak jarang ketika suatu permasalahan memaksa pihak superior berhadapan dengan pihak inferior tanpa mau menggali fakta orang kemudian memberikan pembelaan kepada pihak yang inferior tak peduli sekalipun pembelaannya tidak logis dan tidak proporsional.
Pertanyaannya adalah: apakah selalu pihak yang tampak superior adalah penindas dan pihak inferior tertindas?
Orang berbicara lancang bagaimana keadilan hanya milik mereka yang superior padahal faktanya tak selalu demikian. Pihak inferior tak sedikit pula memperoleh pembelaan dan dukungan sekalipun melakukan tindakan yang tidak dapat dibenarkan.
Kasus Gates vs Cilot di atas jika korbannya bukan Gates melainkan anak SD yatim piatu yang hidup di panti asuhan dan di sekolah tidak punya teman serta menderita penyakit kanker , apakah reaksi orang akan sama? Apakah posisi kasus-nya menjadi berbeda?
Ketika kita berpegang bahwa mereka yang tampak superior selalu buruk dan mereka yang tampaknya inferior perlu diberikan toleransi berlebihan maka sesungguhnya kita sedang memproyeksikan diri kita sendiri pada kondisi demikian.
Pernah saya menulis mengenai “Penilaian Kita terhadap Orang Lain adalah Cerminan Dari Keyakinan Kita Akan Diri Kita Sendiri”. Inilah yang saya maksud di antaranya. Jika Anda selalu berpikir bahwa pihak superior adalah semena-mena dan penindas artinya adalah dua hal:
Pertama Anda tidak yakin bahwa diri Anda bisa menjadi superior, dan kedua yang bahkan lebih buruk adalah Anda yakin bahwa jika Anda superior maka Anda akan melakukan tindakan-tindakan yang buruk. Atau Anda tidak akan menjadi superior tanpa menempuh cara-cara yang tak terpuji.
Perilaku menilai yang demikian menjadikan munculnya “Victim Branding” yang juga pernah saya tulis. Untuk mendapatkan dukungan, simpati bahkan pembenaran orang kemudian memosisikan diri sebagai korban sekalipun sebenarnya adalah pelaku.
Hidup ini bukanlah sinetron murahan dimana ketika dua pihak bertentangan dan yang satu menangis sementara yang lain tegar dapat diartikan bahwa yang menangislah korbannya. Atau orang yang mengeluhkan masalahnya kemana-mana adalah yang tertindas sementara yang berdiam diri adalah penindas.
Karena itu bersikap bijaksana dan objektif-lah dalam menilai dan menimbang sebelum Anda menentukan sikap. Sebab pikiran, sikap, kata-kata dan tindakan yang Anda pilih harus Anda pertanggung jawabkan secara pribadi pada saatnya.
Dan Dia yang mengadili tak peduli sekalipun Anda mem-branding diri Anda sebagai korban. (Satrio)
“Janganlah menghakimi menurut apa yang nampak, tetapi hakimilah dengan adil.” (Yoh. 7:24)